lundi 26 décembre 2011

Andai Saya Menjadi Angota DPD "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya"

Suatu hal yang luar biasa bila saya menjadi anggota DPD, entah itu sebuah anugerah atau malah sebaliknya, karena menurut saya menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah. Itu semua adalah amanat orang banyak yang harus kita jaga. Disini saya juga tidak akan membahas mengenai program apa yang akan saya lakukan untuk masyarakat daerha khususnya, karena bisa dibilang program dan ide-ide yang sudah ada, sangat baik dan inovatif untuk pembangunan daerah.

Tanpa bermaksud menyalahkan sistem yang sudah ada, saya rasa hanya ada sedikit metode yang kurnag tepat sehingga banyak dari ide-ide tersebut sulit untuk terealisasikan. "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya." Dari pribahasa tersebut mungkin kita bisa memulai masalah ini.

Awal tahun 2011, saya mengikuti kuliah kerja nyata di sebuah desa, daerah Sumedang. Maslaah yang sedang ada di daerah tersebut adalah pembebasan tanah, namun sungguh ironis karena, banyak masyarakat yang 'melek pendidikan' justru membodohi mereka yang 'buta pendidikan', dan sebaliknya kepintaran mereka seolah menghapuskan nilai-nilai sosial-kultural yang ada pada masyarakat tersebut. Takhayal aparat daerah yang seharusnya mendengarkan mereka yang tidak berdaya sekarang lebih memihak mereka yang punya uang dan kekuasaan.

Dalam hal ini seharusnya seorang Dewan Perwakilan Daerah haruslah lebih peka terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Bila kita perhatikan akhir-akhir ini banyak permasalahan yang terjadi, seperti di Mesuji, Bima, dan Papua adalah efek dari kejenuhan masyarakat yang aspirasinya tidak pernah didengarkan.

Memang benar setiap daerah memilik masalah yang berbeda-beda dan oleh sebab itu penanganannya pun harus dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Namun disini ada satu solusi yang sama untuk menangani masalah-masalah tersebut. Bila kita lihat dalam sisi psikologis, dewasa ini masyarakat daerah rasanya sudah bosan dengan sejuta ide-ide untuk perubahan dareah mereka. Mereka lebih suka aspirasi mereka didengarkan, dilihat, dan direalisakan. Karena kembali lagi kepada fungsi DPD sebagai lembaga negara untuk menyalurkan aspirasi masyarakat sekaligus mengembangakan pembangunan yang merata di semua daerah di Indonesia.

Barulah setelah itu kita bisa berbicara tentang ide-ide untuk pembagunan daerah, dari pendidikan, ekonomi, sosial, dsb. Karena saya rasa prinsip mendengarkan, merasakan, dan terjun langsung untuk menangani masalah, lebih mudah dan sederhana dibandingkan kita harus menyusun berbagai anggaran untuk program-program pembangunan daerah.

Nyata atau tidak, tetapi hal tersebutlah yang hadir di masyarakat kita. Kompleks? Jelas sangat kompleks. Namun, saya percaya semuanya hanya ingin didengarkan untuk suatu perbuahan yang mebias dalam nilai-nilai sosial-kultural daerah untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Untuk soal ide-ide yang ada sekarang, saya rasa sudah sangat baik sekali untuk perubahan dan pembangunan daerah. Sekarang bagaimana ide-ide tersebut dapat kita masukan dalam lapisan masyarakat daerah yang homogen. Mungkin itulah sedikit asumsi saya bila saya menjadi anggota DPD.

lundi 5 décembre 2011

Tahun yang Prihatin

Satu alasan yang membuat tahun ini menjadi prihatin adalah KULIAH. Semester tujuh ini memang bukan semester yang bisa dibilang mudah untuk saya. Awal bulan ini saya sudah dicengangkan oleh UAS, tugas-tugas dari berbagai matakuliah, dan tidak terasa awal tahun depan saya harus bersiap untuk Seminiar Sastra. "Yah, semuanya memang tidak mudah." katanya orang bijak.

Mungkin kegilaan ini sedikit membuat saya religius, *tanpa mengurangi rasa hormat, memang kebanyakan itulah sifat manusia. Saya cendrung melakukan aktifitas dengan dunia saya, tidak ada waktu untuk bermain, pacaran, jalan-jalan, bahkan makan pun menjadi jarang. Jujur saya sendiri sebenarnya kurang suka dengan sikap saya ini, yaitu sulit mengontrol emosi. Tak heran kalau saya sedang stress atau bahkan capek, saya akan berubah menjadi orang yang sensitif dan mudah sekali naik darah. *mungkin itu juga alasan kenapa orang suka menilai saya itu jutek dan kurang bersahabat.

Kembali kepada rutinitas saya belakangan ini, memang itu bukan suatu hal yang mudah. "Semakin tinggi semester semakin tinggi pula juga angin yang menerpa" *itu adalah pribahasa yang sedikit saya modifikasi. Kalau bisa dibilang semua aliran darah di otak saya seperti jalanan di Jakarta, semerawutlah.

Ini bukan seperti hidup saya rasanya. Tetapi itulah bagian dari hidup, kalaupun saya berlari nantinya akan ketemu-ketemu juga, jadi saya harus siap menghadapinya dengan berbagai kemungkinan. Satu yang saya ingat adalah kata-kata dari dosen-dosen sastra saya "Anggaplah tahun ini adalah tahun prihatin supaya kalian semua bisa lulus dengan cepat, tidak usah cari yang susahlah untuk skripsi. Toh, kalaupun sudah lulus pastilah ada faktor X yang mempengaruhi hidup kalian kedepannya yaitu Tuhan." Saya rasa pernyataan Mme.Sri itu lebih Realistis dibandingkan seminar Mario Teguh.

Saya pun sadar, mungkin juga saya bukan mahasiswa yang brilliant atau memiliki IPK yang gemilang. bahkan ada dosen yang berasumsi kalau saya mengalami kelainan dalam membaca atau biasa disebut 'Diseleksia', akan tetapi saya mencoba merubah pola pikir saya mengenai hal itu semua, saya yang mengetahui kemampuan diri saya sendiri, melalui keyakinan ini saya harus berfikir positif serta yakin kalau saya bisa dan saya mampu untuk melawati tantantangan ini.