mardi 11 décembre 2012

Iseng dan Spontanitas itu Baik


Entah apa jadinya kalau kita menganggap remeh suatu pekerjaan?
Yang pasti fatal akibatnya.

Hal ini terjadi pada saya tepat pada hari sabtu yang lalu (8/12) di Ciwalk dalam acara DVFest2012. Jujur saja hari itu saya sedang tidak mood untuk menggambar, apalagi dipenuhi orang-orang yang suka sekali akan manga. (Disini aku pun suka manga, namun tidak se-addict mereka, dari mulai gaya gambar sampai gaya hidup) Oke, singkat cerita saya membawa peralatan ala kadarnya dari pensil dan pulpen saja.



Saya lalu berkenalan dengan gaya yang sok asik saja, sedikit pede saja resepnya.
"Kang boleh gabung?" tanya saya.
"Oh, mangga kang. Dari mana atuh?", tanya orang tersebut yang saya taksir usia tidak begitu jauh dari usia saya.  (Dalam hati saya berasumsi, asik juga nih orang kayaknya buat diajak ngobrol)


Dari pertemuan itu juga terdapat satu orang peserta lain, saya sendiri lupa namanya, yang saya ingat hanya penampilannya sangat 'NGEJRENG' untuk ukuran laki-laki, dengan pull over warna pink, kaca mata, dan seperangkat alat gambar termasuk tempat pensil 'Disney Princess".

Sepuluh menit petama saya hanya menggambar sketsa komik yang belum jelas jalan ceritanya, sedangkan dua kenalan saya itu sudah asik membuat panel dan macam-macamnya yang buat saya itu rumit sekali. Sampai Zia mendekati kami supaya jangan jauh-jauh menggambar supaya bisa terpantau oleh panitia. (Padahal 1 jam pertama saya sudah berencana untuk cari makan dulu) Oia, Zia itu adalah salah satu panitia yang bertanggung jawab soal lomba komik ini. Usianya tidak lebih tua daripada adik perempuan saya, dan dia juga pernah bercerita pengalamannya yang baru tinggal di Bandung, meskipun ia asli orang Palembang yang masih menyesuaikan dengan Kultur dan Bahasa Sunda.


Dari hal itu akhirnya saya mendapatkan ide untuk membuat cerita 'Rusuh' yang artinya 'Buru-Buru' dalam bahasa Sunda, karena temanya juga Urban Ethnic saya pikir ini juga momen yang tepat untuk memulai cerita itu dalam komik. Pembawa Acara sendiri rasanya 'kepo' sekali dengan cerita yang akan dibuat oleh para peserta yang notabenya selalu terpaku pada cerita pewayangan jika sudah menyangkut kultur. Buat saya sih lucu saja dan agak jomplang kalau manga nyemplung ke pewayangan. Yah, pokoknya buat saya itu KONYOL lah, seolah sedang memperkosa budaya sendiri. Bedanya mungkin memperkosanya dengan gaya asing atau kalau di film porno mungkin kategorinya tukar pasangan. (Relevansi yang aneh bukan?)

Setengah jam berlalu saya akhirnya pergi keliling dulu buat cari angin dan juga penghapus, karena hapusan saya juga tertinggal di kostan. *benar-benar engga niat. Sekembalinya saya kesana, saya melihat dua rekan saya itu rasanya sudah masuk dalam tahap cerita dan karena hari itu langit sedang muram kita pun pindah ke areal permainan anak di Ciwalk. Buat sebagian orang menggambar ditempat bising seperti ini mungkin jadi masalah, tetapi buat saya sih itu engga masalah, (karena ini tidak seperti ujian delf B2 yang menyiksa otak tersebut)

Satu jam berlalu, akhirnya saya dengan percaya diri meminjam segala macam peralatan menggambar dari mulai penggaris, pensil warna, sampai spidol. Mungkin untuk si pinky boy, ia merasa saya itu orang yang menyebalkan dan engga modal. Hahahaha... tapi biarlah, walau malu yang penting komik saya ini selesai.

Sekitar 20 menit kemudian, datang seorang teman dari dua rekan saya itu yang umumnya anak UNIKOM. Saya mau basa-basi kenal si DePe rekan saya di Nirmana Award juga rasanya percuma, karena DePe juga tidak setenar 'Goban si manusia tapi robot' yang ada di Youtube. Yah, jadi saya biarkan saya mereka berkomentar dan berisik di sebelah saya. Mulai dari komentar gambar dua rekan saya yang "Wah, HaDe pisan euy gambarnya." (Hade disini bukan pasangan gubernur Jabar yang amburadul itu yah)

Mereka pun banyak berbincang masalah manga, yang saya sendiri pun buta akan hal itu. Salah satu temannya bahkan sempat menyarankan ide cerita komik kenalan saya itu harus seperti apa dan gimana. Cih...buat saya itu suatu penghinaan, ketika komikus didikte oleh orang lain dalam membuat karyanya yang orisinil. Apalagi ini cuma kompetisi bukan membuat buku yang mesti terkonsep.

Mungkin geregetan dengan peserta komik yang ada disini, ia pun langsung mendaftarkan diri dan ikut membuat komik. Nah, di sini rasa kompetisi saya rasanya baru keluar. Saya sengaja mengulur waktu untuk menyelesaikan komik saya, dan saya mau lihat bagaimana sih orang yang tahun lalu juara satu di DVFest ini membuktikan omongannya yang sombong dan sok mendikte orang ini.

Sekitar pukul 16:00 WIB waktu pengumpulan pun telah selesai, sejauh mata saya memandang, hanya komik saya saja yang rasanya jauh dari kesan manga. Orang yang banyak omong itu juga sepertinya sangat percaya diri untuk menang untuk kedua kalinya. Satu yang saya garis bawahi, disini salah satu jurinya adalah Mas Imamsyah Lubis yang suka komik dan cinta betul dengan anime. Saat ditanya ke Zia selesai acaranya kapan, dia hanya bilang "Acaranya sampai jam 9". (Duh, dalam hati saya juga kesal jika harus menunggu selama itu di Ciwalk.)

Sekali lagi, karena saya juga sedang tidak mood, akhirnya saya meninggalkan acara tersebut dan pulang ke Jatinangor. Tepat pukul 19.00 WIB saya mendapatkan sms dari Zia yang berisi, "Ki, kamu dimana? Kamu juara satu lomba komik loh. Ayo buruan kesini!" Ctarrrrr! Dalam hati saya sangat senang bisa mengalahkan si juara bertahan, namun di lainnya, saya merasa bodoh karena sudah pulang??? Untungnya acaranya sampai malam, dan saya kembali lagi ke Ciwalk dengan penampilan yang kucel dan kumel.

Lalu saya mendapatkan penghargaan dari sekedar iseng disertai spontanitas. Disini saya tetap mempercayai bahwa segala seuatu yang dibuat secara spontan dan jujur akan memberikan pesan yang positif bagi banyak orang, itu lah cerita yang saya buat dalam komik saya.

I did it!

Teknik pewarnaannya pun sangat asal-asalan.

Kalau Harus Begini Kenapa Harus Begitu?

Kalau ingin jatuh cinta, kenapa kita harus sakit hati?
Kenapa harus sakit hati, kalau kita memang tidak ingin?

Kalau harus berpisah, kenapa pula kita harus melupakan?
Kenapa harus melupakan, kalau jadinya masih saling kangen?

Kalau mau pergi, kenapa harus menyakiti?
Kenapa harus menyakiti, kalau diri sendiri tidak ingin disakiti?

Percayalah, manusia itu tidak sempurna.
Ia merasa sempurna karena ide-idenya saja,
Jadi teruslah berpikir apa yang menurut kamu benar dan percayai saja,
Karena pada akhirnya kita 'Manusia' memang tidak sempurna.

samedi 10 novembre 2012

Beklagande

Yang jelas saya buntu untuk menulis apa...

Saya meraih kupu-kupu yang membeku dari selatan
Menikmati sebuah lukisan biru dalam budaya yang orang pikir pemuja setan
Laju terhenti pada sebuah sore, ini memang bukan hari yang buruk
Sebuah lonceng biru, perak, dan berubah menjadi kuning, tapi bukan emas

Angin sudah pernah bilang, "Hey, aku akan datang lagi" lantas saya? Yah, sudah beranjak dari sore, walau tidak begitu banyak.
Kalau sudah begitu arahnya akan kemana, yah tidak ada yang tahu.

Matahari mengantarkan langka seorang pria muda ke rumah saya.
Hari itu memang cukup istimewa, tapi saya juga sedikit 'tidak enak rasa'.
Memandang keranjang tumpukan beban dan suka cita.

Perdebatan ini memang seolah membohongi
Langkahnya sudah jauh, barat ke timur
Saya memang tidak pandai mengingat yang dianggap orang lain penting...

Lidah kecil menjadi batu kaca, memecah jalan supaya saya ingat Tuhan.
Manis, bahkan bisa dibilang sangat manis.
Ini apa? Sudah tidak disitu saja saya berkata, bias dan samar nantinya.
Goresan demi goresan terus saja dilakukan tanpa sadar dan senyap

Titik nadir dua arah yang menentukan keadaan.
Lebih baik saya diam, serta menutup tumpukan kata.
Ini memang meradang, biar dua mata pisau ini ku tanamkan ke sana.
Tidak usah ditanya kemana melati itu akan menikam uluhati.

dimanche 7 octobre 2012

Guling dan Bantal

Sepertinya baru kemarin kita berebut soal mainan
Sepertinya baru kemarin kita berdebat masalah pakaian
Sepertinya baru kemarin kita berkelahi karena guling dan bantal
Sepertinya baru kemarin juga kita berdua menjadi anak laki-laki di keluarga ini.

Buatku kau bisa menjadi saingan sekaligus panutan, meskipun banyak rasa kesal dan sebal yang sering lahir dari sebuah pertikaian namun sama sekali aku tidak pernah mendendam.

Aku ingat betul, tetapi lupa persisnya kapan. Saat itu adik perempuan kita menghilangkan uang kembalian dari membeli gorengan. Sontak ibu pun marah bahkan memarahi adik kita. Lantas engkau yang saat itu menyuruh, juga ikut memarahiku, saat itu saya berpikir. "Hey..yang mau beli dan makan siapa?" lalu aku dicaci oleh mu, dan aku pun membalas dengan mengatakan "Moron!!!". Dan setelah itu mungkin kau bisa ingat apa yang terjadi diantara kita?!

Memang kejadian itu jauh sebelum kita seperti sekarang, tetapi aku pun sadar, engkau sebagai panutan banyak memberikan contoh yang positif, dan terkadang ada juga yang negatif.

Saat aku berani menumpang mobil bak, engkau naik motor bertiga tanpa helm, kita hanya menyimpan rahasia itu satu sama lain, walaupun ujung-ujung tetap ketahuan.

Saat engkau berada di tingkat yang lebih tinggi, aku harus berlari minimal menyamai apa yang kamu raih.
Memang sulit untuk menjadi yang pertama, selalu harus tampil baik dan sepurna untuk yang ke dua dan seterusnya.. Akan tetapi, tidak mudah juga untuk yang ke dua atau selanjutnya, karena minimal harus bisa menyamai yang pertama.
Kalau dirasa telalu picik dan naif, sah-sah saja ku pikir.

Sekitar tiga atau empat tahun belakangan kita mulai saling tahu jalan masing-masing.

Aku tidak bisa seperti engkau, begitu juga dengan engkau...
Kita memang berbeda satu sama lain, kita pun tidak bisa menyebut semuanya sama dan baik untuk diri kita masing-masing.

Oleh karena engkau sudah menjalani cerita lain dari hidupmu, kini mungkin tidak ada lagi cerita anak laki-laki yang berebut bantal dan guling, ribut masalah meminjam barang, egois saat bermain video game dan masih banyak lagi hal-hal yang rasanya terlalu sepele untuk diperpanjang. Tetapi itulah kita...

Aku hanya bisa mengucapkan selamat menempuh hidup baru, semoga selalu menjadi teladan bagiku dan adik perempuanmu.

Regards,
Adik laki-laki mu.

mercredi 20 juin 2012

Cukup Untuk Sedu

Salah satu fase yang sulit telah menanti saya dalam hitungan hari kedepan. Ini bukan masalah yang mudah atau juga susah, akan tetapi ini semua penuh dengan perjuangan dan juga kerja keras. Saya termasuk orang yang tidak mempercayai sukses seperti Paman Gober, karena pada dasarnya "Sukses itu hanya di dapat dari kerja keras dan pengorbanan yang luar biasa."

Saat ini saya mungkin harus kembali ke jalur balap setelah saya masuk pit. Ini Tantangan yang luar biasa buat saya, tetapi saya memang harus membuktikan kemampuan saya sebenarnya.

Hari ini, detik ini, saat saya mengetik postingan ini, saya akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuktikan siapa saya sebenarnya. "Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas."

mardi 19 juin 2012

Fungsi Bahasa

"Beruntunglah saya karena saya mencintai sastra, karena saya bisa melihat dunia melalui bahasa." Itu mungkin salah satu argumen yang bisa saya dapatkan selama kuliah ini. Bahasa, tanpa kita sadari memiliki banyak sekali fungsi. Beda daerah, beda budaya, menjadikan kita suka salah menafsirkan bahasa. Tetapi saya melihat perbedaan itu sebagai ragam dan ciri khas suatu bangsa. Selamat menikmati komik saya yang satu ini.

mardi 12 juin 2012

Foto Bersama Idola

Awalnya ide komik ini lahir dari Acara Nirmana Awards 2012 kemarin, namun saya mencoba membuatnya sedikit lebay dan agak konyol. Karena memang kejadian seperti dikomik ini rasanya sering kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari.
Lucu engga sih, untuk foto saja kita harus menggunakan kamera canggih, padahal fotonya juga belum tentu bagus dan memuaskan...
Dan hal itulah yang coba saya jabarkan dalam komik ini.
Semoga bisa menyadarkan Mata Kita semua.



samedi 9 juin 2012

Saya Banyak Belajar di Nirmana Awards

Sudah lumayan lama saya tidak memposting cerita di blog ini. Maklum artis yang tidak populer ini sedang disibukan oleh kesebukan duniawi dalam beberapa minggu belakangan ini. Banyak yang saya lewati sebulan berlakangan ini, salah satunya adalah Nirmana Award.

Suatu kesempatan yang berharga bagi saya untuk bisa berpartisipasi pada event ini. Sejujurnya saya sendiri tidak pernah menyangka akan mencapai titik ini. Ya... kalau bisa dikatakan saya sendiri tidak memiliki pendapat bahwa komik saya bisa masuk dalam kategori Nirmana Awards. Karena bisa dibilang dari segi pewarnaan dan tekniknya masih sangat jauh dengan para short list finalis lainnya.

Awalnya saya memang merasa ini bukan hal yang menarik, mungkin bisa dikatakan 'banal'. Terlebih setiap event seperti ini, karya kacangan saya dan juga saya banyak diperlakukan yah, biasa saja. Akan tetapi kali ini berbeda. Mengapa saya bilang berbeda?

Dimulai pada kedatangan saya di hari kedua dari rangkaian Nirmana Awards, saya pikir semua rangkaian acara 'terutama work shop' akan sangat membosankan. Namun begitu saya sampai di Binus Internasional, semua asumsi saya itu berubah.


Hari kedua bersama Mas Aria Rajasa

Hari ketiga bersama Mas Bima Shaw

 Hari ketiga bersama Mas Gleen dan Pak Sakti Makki



Peserta disini yang mayoritas berusia 19-25 tahun, sangat ramah dan bersahabat. Latar belakang mereka pun bermacam-macam. Awalnya sih saya masih agak kikuk, ditambah saya juga bukan anak desain. Yah, dari yang sudah-sudah sih, saya selalu tidak 'dialem' kalo kata orang Jawa. Tapi kalau ini beda, banyak dari peserta lain yang saling berbagi informasi dan pengalaman. Itu yang membuat saya merasa berbeda.

Selain itu, dalam rangkaian acara seperti workshop diisi oleh orang-orang yang hebat di dalam bidangnya masing-masing. Kalau bisa dibilang kita banyak bertukar informasi dan pengalaman tentang dunia kreatif, terutama desain.

Dan ada juga acara Portfolio Review, nah..kalau yang satu ini jujur saya blank, karena memang saya bukan anak desain. "Boro-boro bicara soal Portfolio, CV aja belum tentu rapih." Tetapi saya mencoba membuat portfolio saya itu selama satu malam, dengan bantuan dari kakak senior saya di kampus, Bung Panji Firman. Lalu saya mendeskripsikan portfolio itu, kepada para agency creative yang berbaur layaknya kacang goreng, karena memang saat itu saya memang tidak diniatkan. Ujung-ujungnya sih cuma ngobrol-ngobrol santai aja, termasuk dengan Mbak Amalia Sari dari Juara Agency yang sudah banyak memberikan saran dan masukan kepada saya. "Yah, ujung-ujungnya juga sekalian ngomong bahasa perancis sama dia." Hehehe..

Sampai pada Awarding Night yang diadakan di fX dan disana saya merasakan atmosfer kekeluargaan yang baru bagi saya, baik panitia dan finalis rasanya sudah menjadi satu kesatuan yang utuh menjadi elemen yang lahir dan membangun di Nirmana Award. Lebay? Yah, terserah.. Itu cuma persepsi dari saya saja.



 Finalis Komik Strip, (Saya terlihat lusuh dan dekil disana)

"Ini bukan Cibi tapi Biji." Kata om Dennis.


"Memang waktu pertemuan kita singkat, namun saya mempercayai setiap orang memiliki cita-cita dan passionnya masing-masing dalam berkarya, pada akhirnya melalui karya itulah kita dapat berbicara dan menyatukan cerminan bangsa melalu apresiasi desainer muda." Saya harap itu, suatu hari nanti...


Terima Kasih Rekan-Rekan di Nirmana Awards

dimanche 20 mai 2012

Terlalu Klasik Bicara Moral

Belakangan ini republik kita dihebohkan oleh konser Lady Gaga. Sebenarnya saya merasa ini bukanlah masalah yang serius. Memang mungkin ada kelompok atau orang yang geram dengan tulisan saya ini.

Tetapi apa salah saya sedikit menyinggung sikap polisi yang seperti takut atas tekanan suatu kelompok ormas masyarakat. Terlalu naif klo kita bilang Lady Gaga itu merusak moral bangsa. Mengapa saya bilang demikian? Sejatinya lebih banyak kok tontonan di republik ini yang lebih vulagar, erotis, yang justru membuat moral bangsa ini jeblok.

Saya pernah membuka suatu gambar yang membandingkan aksi konser dangdut koplo dengan konser lady gaga. Dan dengan mata telanjang kita bisa membedakan mana yang menandung pornografi dan mana yang mengandung kreatifitas?

Ironis memang kondisi bangsa ini, saya pribadi seorang muslim namun agak klise-lah kalo mengeluh-eluhkan soal moral yang dikaitan dengan agama? Karena buat saya Indonesia juga buka negara suatu agama saja.

Seperti yang Mas Pram pernah bilang dalam buku Calon Arang, "Semua orang itu sama, berasal dari satu turunan, oleh karena itu kita itu saudara." lagi pula belum tentu semua orang menonton konser Lady Gaga.

Tanpa Lady Gaga menggelar konser disini pun kondisi moral kita memang sudah jeblok, jadi jangan buatlah hal kecil dibesar-besarkan. Toh..masih banyak masalah besar di negara ini yang jauh dari perhatian.

Berada di tempat paling bawah

Bukan sebuah perasaan yang timbul perlahan, namun secara tiba-tiba. Itulah hal yang saya rasakan saat saya terhempas dari orbit gagasan hidup. Disaat yang bersamaan saya juga harus puas atas benturan dari meteorit yang melibas habis satuan yang tersisa.

Jujur saja saya tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya, sampai saat ini pun saya masih belum percaya. Dimana kaum minoritas harus tersampingkan oleh kaum mayoritas atau bahkan oleh seorang kurator dari sekelompok orang yang takut akan sebuah perubahan. Ini bukan masalah waktu namun lebih berbicara pada kenyataan yang ada di depan.

mardi 8 mai 2012

Le Chien Bleu


 Il était une fois un chien bleu. Entièrement bleu. Du bout de ses oreilles poilues à sa longue queue, bleue ainsi qu’une tache d’encre, de ses prunelles qu’il avait azurées, à sa langue qu’il avait indigo, il était bleu.
                Cette couleur, qu’il eût pu porter avec fierté pour se singulariser, faisait son malheur. Depuis sa plus tendre enfance, on le chassait de partout. Il était né à la campagne, dans la cour d’une ferme. A peine sevré, sa mère l’avait abandonné. Alors il était reste seul. Il était parti, la tète basse. sa pauvre langue bleus pendante entre ses babines bleues, ses yeux bleus déjà les de s’ouvrir sur un monde hostile, tristement baissés sur le chemin, son seul ami. Et son maudit indigo se découpait à peine plus foncé sur le ciel, tandis qu’il marchait par le monde.
                Une bête malheureuse, comme un homme malheureux, comme un saint malheureux, apprend beaucoup plus vite à connaitre qu’un être béatement installé au centre de son bonheur. C’est pourquoi le chien bleu était devenu un grand philosophe tout en continuant à pleurer.
                Toutefois, il avait parfaitement conscience qu’il aurait pu se faire respecter à cause de sa couleur même, mais ce chien si doué préférait considérer cet étrange phénomène comme une de ces catastrophe dont la nature frappe parfois des êtres sans défense contre ses caprices. Et il fuyait partout. Cet air humble et bleu qu’il avait en s’adressant aux gens, faisait dire à des êtres dénués de sensibilité  et de sens : « Ce chien est bleu ! Quelle horreur ! Chassez-le ! Le diable le possède ! » ou bien « Quel étrange animal… Il vaut la peine d’être enfermé au zoo ! » Voilà. Et le chien en pleurait de grandeur incomprise. Il eût écrit un roman, un feuilleton, un article, un traité, ne fut-ce qu’un poème qui fût compris par ces êtres qu’il en eût été heureux ! Que voulez-vous ? il avait un énorme amour-propre et il eût mieux aimé qu’on le passât à la chaux plutôt que de végéter indéfiniment dans sa triste peau bleue.
                Or, un  jour, il neigea. Ce fut le maitre-jour dans la vie du chien bleu. Le chien, transi, gelé, la mort dans l’âme, gratta à une porte, deux portes, trois portes : elles lui furent toutes successivement fermées au nez, ce pauvre nez bleu qui gelait, sans pour cela changer de couleur !
                Alors le chien bleu se tapit au coin d’une rue, bien sale, bien triste. Il attendait la mort. Il écoutait le silence ouaté, triste, blanc.
                Une petite fille passa avec sa gouvernante. Elle dit : « Oh ! Le pauvre chien blanc ! »
                Tout d’abord, il crut ne pas bien comprendre. Avait-elle dit blanc ou bleu ? Si c’était blanc ?... Dans un dernier effort, il abaissa sa tête raidie vers ses pattes et il les vit recouvertes de neige blanche, souple.
                Un grand bonheur l’emplit tout entier. Une petite flamme, la première et la dernière, dansa dans son cœur de chien bleu. Et il mourut ainsi, blanc dans la neige blanche et tout bleu par dessous. Il mourut heureux et blanc, après avoir vécu triste et bleu.
Anne Bodart (La Fourmi a fait le coup)

Ini adalah salah satu bahan kuliah saya di Sastra Perancis. Mengapa saya menuliskannya di blog ini? Ini kali pertama saya diberikan tugas untuk menganalisis sebuah teks secara bebas. Betapa menyenangkan sekali, akan tetapi bukan hal ini yang akan saya tekankan.

Ada satu kesamaan Nasib antara tokoh utama dalam cerita ini pada kehidupan saya. Ini memang sudah lumayan akut. Yah... Saya masuk ke dalam sebuah sistem yang membuat suatu permasalah tampak rumit lalu membuat sesuatu yang kurang dan berbeda menjadi sesuatu perlawanan dari sistem tersebut.

Saya ingin menangis untuk meraih kebahagian, untuk suatu perjuangan saya rasa itu bukan harga yang mahal. Namun apakah saya benar-benar mati dan menangisi keadaan?
Sampai detik ini saya masih percaya adanya orang-orang baik di dalam sana...

mardi 24 avril 2012

Cipi itu Nama Kucing Saya.

Sebuah perasaan yang saya ras tidak perlu saya keluarkan untuk sebuah hewan kecil ini.
Ya, sejujurnya saya tidak begitu menyukai binatang berbulu apalagi mamalia. selain agak repot mengurusnya, saya sendiri alergi dengan binatang berbulu. Tetapi kali ini berbeda. Kenapa saya bilang berbeda?
Yah, karena baru kali ini saya merasa kehilangan sosok binatang peliharan, setelah mondi (nama ikan lauhan saya dahulu), mungkin dia memang tinggal bersama Riri, bahkan pacar saya itu lebih menyayangi si Cipi daripada saya.

Saya mungkin dibuat kesel atau mungkin cemburu dengan hewan ini, karena dia selalu mendapatkan perlakuan lebih. Tetapi lucunya adalah, Cipi selalu membuat 'ulah', saat kami berdua sedang tidak akur. Entah sakit, entah mendadak minta kawin, atau yang terakhir kabur dari kostan pacar saya itu.

Tidak dapat dibohongi mungkin Riri lah yang lebih kenal kepribadian Cipi dibandingkan saya, menurutnya Cipi bisa menjadi teman curhat baginya. Dia berasumsi kalau Cipi stress karena tidak memiliki teman, apalagi akhir-akhir ini kami berdua sangat sibuk dengan rutinitas masing-masing. Lalu Riri pun merasa bertanggung jawab karena telah mengadopsi Cipi saat masih kecil, untuk opsi menghibahkan sudah saya lakukan, namun apalah daya banyak orang lebih menyukai kucing Ras dibandingkan dengan kucing Lokal.

Akhirnya kami sepakat, sebaiknya Cipi dilepaskan untuk hidup bebas. Tadinya saya merasa itu adalah Hal yang konyol, mana ada binatang bisa mengerti perasaan manusia atau sebaliknya. Akan tetapi semua itu dipatahkan oleh sikap mereka berdua sebelum akhirnya Cipi kami lepaskan untuk hidup bebas.

Riri bahkan menangis saat Cipi ingin dilepaskan. Secara tampilan mungkin saya terlihat tegar, namun dalam batin saya merasa diguncangkan oleh ikatan diantara mereka berdua. Benar ada yang bilang,"Laki-laki hanya terlihat tegar di luar, namun mudah hancur di dalam."


Hari ini, 24 April 2012, mungkin sudah hampir setahun kami, atau bisa dibilang (lebih banyak Riri yang merawat Cipi) harus merelakan kepergian teman kecil kami itu. Riri sempat bertanya, "Kok kamu diem aja si Cipi dilepas? Engga sedih?". Saya lebih memilih diam dan mencoba memasang wajah tenang. "Sedih kok." dan Cipi pun begitu senang saat bisa hidup bebas. Pada saat itulah saya merasa ikatan itu memang benar-benar nyata.

Melalui tulisan ini pun, ini kali pertama saya berani menyatakan bahwa, "Dibalik rasa diam dan tak acuh saya, disana ada satu masa dimana saya merasa ingin benar-benar mengenal lebih dalam objek yang dirasakan olehnya acuh."

Pour Mon Chupacabra, Cipi.

Merci beacoup, parce que tu peux donner le bon souvenir.
Merci à Toi, tu avais été la lumière dans notre vie...


Cipi
Cipi

Maintenant, c’est le temps pour vivre plus longtemps et heureux toujours.
 Ici, tu me manques. Adios mon diablo gato.

lundi 23 avril 2012

Saya BERTANYA

Jika aku bukanlah semua yang kau pikir tentangku,
Segala sesuatu yang aku pikir tentangku,
Apa kamu masih ingin mengenalku?

dimanche 22 avril 2012

The Woman

Ada tanda tanya besar kenapa ini bisa terjadi.
Singkat atau menjadi lambat? mungkin itu yang saya rasakan.
Special? Menurut saya itu hal yang biasa.
Saya hanya terbiasa menganalogikan situasi, relasi, dan imaji.

Suara, tulisan, mau pun bentuk nyata itu hal yang taboo untuk dibahas.
Biarkan saya menjadi orang surialis.
Saya hanya berada didalam sebuah jeruji yang tak bertuan.
Kemudian menjadi lebam dalam sebuah perasaan.

The Woman, suatu permainan yang rasanya memberikan zat adiktif dalam pikiran.
The Woman, Think isn't similar. 

mercredi 11 avril 2012

Lumpuh

Ketika saya memulai postingan ini saya yakin betul, bahwa saya sedang 'pincang' dalam melangkah. Ini bukan masalah pribadi yang saya tempa. Secara tidak langsung efek domino ini berlaku dalam kehidupan saya.

Ketika saya berlari untuk masa depan, langkah saya terjatuh oleh sebuah benturan dari sebuah kebijakan. Saya lelah, bahkan saya lebih memilih babak belur dan hacur daripada menangisi keadaan ini.

Sampai saat ini mungkin saya belum bisa jadi sesuatu untuk orang lain. Maafkan saya ayah dan ibu, bukan maksudku untuk mengecewakan kalian.

Semoga Tuhan memberikan jalan keluar yang terbaik untuk Hidup Saya ini...

"Ada kalanya laki-laki lebih memilih babak belur dan hancur daripada menangis dan menyerah pada keadaan ini."

lundi 12 mars 2012

Titik Nol

Saat saya menulis postingan ini sejujurnya saya sedang merasa tertekan, entah karena apa? Fisik dan pikiran saya merasa sedang berada di 'titik nadir', mungkin inilah yang dinamakan dengan mahasiswa tingkat akhir. Kalau ditanya kenapa semester 8 ini masih ada kuliah, janganlah kalian bertanya kepada saya, karena memang sedari awal jurusan ilmu yang saya pelajari sudah menganut faham seperti itu.

Terlalu klise rasanya kalau saya membahas ini disini, tetapi memang seminar membuat saya menjadi orang surealisme. Sejenak saya memikirkan diri saya sendiri, tidak terfokus pada apa yang orang bicarakan tentang saya, 'peduli setan' mau dikata apa. Namun sampai saat ini saya masih terpaku pada sesuatu yang mungkin jelas namun samar. Hal itupun yang mebuat saya menuliskan langsung apa yang ada di dalam kepala saya saat ini juga.

Saat matahari berkata dipagi hari
Aku berdiri untuk menyatakan sesuatu yang belum pasti
Saat ribuan atau bahkan jutaan orang pergi
Yang aku rasakan hanya sendiri
Apakah semua ini menjadi lebih berarti dari sebuah janji
Ketika kita tegak menyongsong hari

Hitam putih itu terlalu jauh untuk dilewati
Satu persatu orang datang dan pergi
Ketika sungai beriak, aku pun masih harus berlari
Belajar dari masa lalu untuk sebuah kepastian

Nampaknya terlalu dini untuk menyapa matahari esok pagi.

dimanche 5 février 2012

Étape

Sebuah titik yang dimulai dari kertas kosong.
Kemudian titik-titik tersebut bersatu, satu sama lain untuk membuat sebuah garis dan bentuk.
Ini adalah awal bagi saya, disatu sisi mungkin ada yang tidak menyukainya.

Tetapi kembali lagi, saya tidak akan membiarkan titik-titik tersebut terhapuskan oleh sebuah garis tegak.

Saya percaya ini merupakan gulungan kertas yang akan membentang untuk menjawab semua keraguan.

Siap atau tidak, titik yang menjadi bentuk ini akan mengabrasi garis tegak tersebut.

Selamat... Selamat... Selamat...

Totalitas Tanpa Batas

Pada suatu kesempatan, saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah toko sepatu di Jakarta. Karena asiknya melihat-lihat barang saya tidak menyadari keberadaannya. Kalau saja dia tidak menepuk punggung saya, saya mungkin tidak akan mengenalinya.

Bang Boy saya memanggilnya, jujur sampe sekarang pun saya tidak tahu nama aslinya siap. Dia merupakan orang yang memiliki cita-cita menjadi sutradara profesional.

Saya ingat betul, saat latihan teater bersamanya saya kurang memahami metode apa yang ia gunakan, yang jelas buat saya itu aneh. Terlebih dia sangat 'perfeksionis'. Sampe saya lulus dari SMA dan menjadi 'dedengkot' anggota teater di SMA.

Singkat cerita saya dan dia merupakan pribada yang bertolak belakang, apalagi saya diberikan peran sebagai mayat pada pementasan pertama saya itu. Bisa dibayangkan seperti apa rasanya, kesal, malu, dan tidak sudi pasti ada. Dengan sedikit kesal dan tidak ikhlas saya menjalani peran tersebut.

Untuk pertama kalinya saya menyadari arti dari sebuah peran itu seperti apa, tak peduli peran itu hanya sebagai latar, cameo atau sebagainya. Disitu, saya pun diperkenalkan oleh dunia seni peran yang benar-benar mendalam, prosesnya memang tidak mudah malah saya fikir saya hampir gila.

Akan tetapi saat penampilan saya merasakan dampak yang luar biasa. 'Kepuasan dalam bermain peran'. Percaya atau tidak dari suatu peran itu saya sekarang tidak begitu canggung dan malah menyukai dunia teater dan drama.

Sekilas mengenang masa lalu saya, bang boy pun menanyakan kabar saya, begitu pula saya yang menanyakan kabarnya. Bang Boy memang tetap melatih teater SMA dan beberapa kelompok teater kampus. Beliau pun banyak menanyakan karier saya dalam dunia teater dan drama. Sampai dia berkata, "Kalau kita sudah suka pada suatu bidang pekerjaan dijalani seperti apapun pasti bakal menikmati, begitu pula saya yang terus mengajarkan teater."

Sungguh pernyataan yang meyakinkan saya bahwa dia memang seorang seniman yang total dalam kariernya. Terima kasih Bang Boy, saya pribadi mendapatkan banyak pelajaran dari Abang.

vendredi 27 janvier 2012

Budaya = Cerminan Bangsa

Sebuah ide yang lahir dari Andi Ibnu untuk berkeliling melihat meriahnya tahun baru cina atau yang biasa disebut Imlek. 23 Januari 2011 kami (Saya, Ai, dan Apri) mengunjungi Petak Sembilan, Glodok. Lokasi yang biasanya dijadikan tempat perdagangan yang penuh dan 'sumpek' kalau kata orang Jakarta, berubah menjadi suatu tempat yang berbeda pada hari itu.


Ya, masyarakat sekitar memang disibukan oleh kegiatan peribadatan di Wihara Dharma Bhakti, suatu sisi lain dari keragaman budaya di republik ini, bau dupa sangat menyengat bahkan membuat mata kami perih. Tidak ada bedanya dengan hari raya keagamaan di Indonesia, semua orang yang sedang merayakannya, melaksanakan berbagai macam ritual yang khidmat. Sedangkan sisanya mungkin ada yang asik mempelajari tradisinya walaupun ada juga yang sedang bekerja seperti Satpol PP dan Kepolisian atau bahkan para Peminta Sedekah (mungkin mereka hampir ada disetiap acara keagamaan, mungkin bisa dijadikan PR untuk pemprov DKI Jakarta)


Satu pelajaran berharga saya dapatkan dari perjalanan ini, yaitu saya benar-benar menyadari tidak ada pembeda antara umat beragama di Indonesia, dalam kesempatan itu pula saya mengamati banyak dari etnis tionghoa yang menjalani berbagai ritual dengan khusyu. Penjagaan yang ketat dari Satol PP dan kepolisian menurut saya juga memberikan sesuatu efek kenyamanan bagi para mereka yang sedang menjalani ritual keagamaan. Mungkin saya baru kali ini merasakan secara langsung, peninggalan dari Guru Bangsa 'Gusdur' yang tidak menjadikan perbedaan keyakinan untuk kita bersatu.

Disatu sisi, saya setuju sekali dengan perbincangan ringan oleh teman saya Andi Ibnu dan Apri, yang bisa saya simpulkan "Terkadang kita terlalu asik melihat budaya luar (westernisasi), mengikutinya dan menganggap budaya kita itu kuno, bagaimana kita bisa bilang seperti itu karena untuk sekedar kenal atau tahu budaya bangsa sendiri, kita sendiri enggan melakukan itu." Memang benar pikir saya. Bisa dilihat pada kesempatan itu orang luar bahkan lebih tertarik untuk mempelajarinya dan rela datang jauh-jauh, sedangkan kita yang dekat, dibuat enggan untuk mempelajarinya atau sekedar mengenalnya.

Suatu pelajaran yang berkesan yang saya petik dari momen seperti ini, semoga kalian yang membacanya pun dapat mempunyai padangan yang lebih positif, karena bisa dibilang 'kalau bukan kita, lalu siapa yang dapat melesatarikan budaya bangsa ini.' kalau negara tetangga 'ngaku-ngaku' baru kita marah-marah. Kalo saya di negara itu mungkin saya akan bilang "Kemane aje lo?" Tapi itulah republik ini, suka atau tidak kita harus terima dan siap untuk merubahnya.



Selamat merenung dan selamat bekerja untuk menjaga budaya bangsa yang kita cintai ini. "Gong Xi Fa Cai"

Cemal-Cemil

Sebuah kesempatan yang sangat luar biasa saya habiskan bersama Riri, memang dalam beberapa bulan belakangan ini kami jarang mengahabiskan waktu bersama, kalau ditanya kenapa? mungkin memang saya pasti dibilang 'sok sibuk' menurut Riri.

Hari itu memang kami sepakat untuk berkeliling kota saja, karena faktor usia juga mungkin yang membuat kami enggan untuk sekedar mengabiskan waktu di bioskop atau pun mal, setelah berputar-putar akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi toko souvenir di daerah Kemang, Jakarta Selatan.

Dekorasi toko Cemal-Cemil

'Cemal-Cemil' adalah sebuah toko yang menjual aneka cemilan dan souvenir tempo dulu, kami pun seperti bernostalgia saat memasuki toko mungil ini. Mungkin anak-anak yang saat ini seusia saya (yang lahir pada tahun 90an) mengenal berbagai macam mainan di toko ini, mulai dari Perahu yang dibakar dengan api hingga berbunyi 'bletek-beletek', balon tiup, sampai miniatur bajaj dan bus tingkat yang dulu banyak dijual disekitar makam pahlawan kalibata.

Untuk cemilan sendiri, banyak jenis yang ditawarkan, mulai dari permen rootbeer, permen cicak, rambut nenek, cokelat jago rasa jeruk, dan masih banyak lagi. Harga yang ditawarkan pun cukup terjangkau dengan 5000-300 ribu rupiah kita bisa membeli berbagai macam produk yang ada ditoko ini. Tetapi ada juga berbagai produk yang tidak dijual karena alasan langka dan juga untuk hiasan di toko tersebut. Ukuran toko yang berkisar 3meter x 5meter ini dapat memberikan kesana 'djadoel' bagi para pengunjung, konsep yang ditawarkannya juga sangat menarik "karena kita benar-benar mendesain toko ini seperti zaman dahulu." jelas penjaga toko tersebut.

Bisa dilihat, ibu ini saja sampai borong belanjaan.:D


Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi saya, jadi untuk kalian yang ingin bernostalgia, atau sekedar untuk mengenalkan mainan tradisional yang terlupakan kalian bisa langsung datang ke toko Cemal Cemil di daerah Kemang, Jakarta Selatan.

Era Informatika

Terkadang kita semakin dimanjakan oleh kemajuan zaman, nah kali ini saya akan melihat sisi lain dari kemajuan Teknologi, terkadang kita sendiri suka dibuat bodoh akan kemajuan ini. Ini mungkin sering kita alami, saat orang menanyakan kabar atau sekedar mengirimkan pesan lewat sms/bbm, justru bukan sms/bbm yang kita terima, melainkan tweet di Twitter. Ironis memang, tapi itulah kemajuan zaman, padahal belum tentu semua orang 'pantengin' timeline twitter. Inilah komik yang saya buat untuk kita semua.

mercredi 25 janvier 2012

Jingga

Sebuah lagu yang saya tulis dengan menceritakan perjalanan dari Heels Phobia. "Terdengar cengeng?" Eits, engga juga...karena saya tetap berusaha membangun ambiance yang dingin, merenung, namun tidak 'menye'. Sebenarnya saya dan Hedi memiliki lagu yang lain untuk di take pada saat akhir tahun 2011, namun satu dan lain hal memutuskan kami berdua merubah total semua yang sudah dirancang.

Terbayang tidak kalau lagu ini diciptakan hanya satu hari dan lahir hanya dari obrolan ringan tentang perjalanan Heels Phobia? Dan lucunya lagi saya yang sedang asik bercerita ditangkap hedi sebagai ide untuk menulis lirik baru tentang Heels Phobia. Satu hari full kami habiskan untuk mematangkan lagu tersebut dan voila 'Jingga' tercipta sebagai lagu kami yang baru.

Saya sangat menyukai lagu ini, entah kenapa? mungkin karena pengalaman pribadi dan ditambah emosinya pun dapat. Hehehe... selain itu di lagu ini kami berkolaborasi dengan musisi (menurut saya dia sudah menjadi Seniman sejati) Fiersa Besari. Tidak bisa dipungkiri memang Ia, cukup banyak memberikan masukan bagi karya-karya kami, dan untuk saya kesempatan untuk berkolaborasi seperti ini sangatlah berkesan. Begitu pula karakter vokal Fiersa yang kuat dan kering, mampu memberikan warna yang lain pada lagu ini.

Jujur, saya sendiri masih belum percaya lagu Jingga ini dapat menjadi 'sedingin ini', semuanya memang mengalami aransemen yang berbeda saat di Track, namun overall menjadikan lagu ini sebagai karya yang paling berkesan untuk saya.

Penasaran dengan lagu Jingga dari Heels Phobia?
Liat saja langsung ke myspace.com/heelsphobia

Untuk Semua Orang yang mendukung Heels Phobia sampai saat ini.

mardi 10 janvier 2012

Konser Musik

Dewasa ini semakin banyak musisi mancanegara yang mengadakan konser di Indonesia. Sebut saja Bruno Mars, Kings of Convenience, Pitbul, Mike Foster, Justin Beiber, Mogwai, sampai yang ditunggu di awal tahun ini. Yap..Katy Perry. Terkadang saya lucu melihat fenomena ini. Jujur dari kesemuanya itu saya hanya menyukai Kings of Convenience malah lebih suka The Whitest Boy Alive.
Oke, kita sampingkan perihal suka atau tidaknya. Pada satu kesempatan saya berbincang kepada rekan saya Andi Ibnu Masri, "Kenapa yah orang-orang rela bayar mahal untuk sebuah konser yang paling dia cuma hafal 2-3 lagunya saja dari si penyanyi/band tersebut?" Aii berpendapat "Bisa dilihatlah, itu semua sudah menjadi gaya hidup lik. Mungkin dikepala anak muda jaman sekarang 'masa bodo gue cuma apal 2-3 lagu doang' yang penting gue eksis!"
Kalau dipikir-pikir memang betul juga apa kata dia, dahulu kalau mau pacaran atau sekedar 'ngeksis' lebih baik ke mall atau ke bioskop, tetapi sekarang konser musik sudah menjadi bagian gaya hidup. Melalui dialog singkat tersebut saya mencoba menuangkannya dalam sebuah komik dibawah ini. Percaya atau tidak tetapi memang fenomena ini ada.

saliki dwi saputra

dimanche 8 janvier 2012

Master Chef

Tadinya saya hanya mencicipi makanan itu kenalnya 'Enak dan Tidak Enak', namun dengan boomingnya cara masak memasak, menjadikan saya peka terhadap cita rasa makanan. Tentunya hal ini juga menginspirasi kisah komik saya berikut ini.