mercredi 9 octobre 2013

Memaknai Sebuah Perjalanan Pesan Lewat POS

9 Oktober, hari diperingatinya Pos  Internasional. Di Indonesia sendiri hari ini kurang mendapatkan perhatian, atau bahkan jauh dari hingar bingar hari besar pada umumnya. Mengingat kata POS kita pasti teringat pada kata surat ataupun pesan. Yah...merujuk pada sejarahnya sendiri kirim-mengirim pesan memang telah ada pada awal abad ke-18.

Kembali kepada hari Pos Internasional ini. Dewasa ini dapat kita lihat keberadaan kantor pos memang relatif jauh dari perhatian masyarakat. Saya ingat betul surat pertama yang saya buat dan dikirimkan melalui pos adalah sebuah sayembara dari majalah Bobo. Tidak hanya itu, dulu pun saat duduk di bangku sekolah dasar, ada semacam lembar kerja siswa (LKS) yang namanya Kunti. Bisa dibilang, LKS ini juga mengajarkan hal positif bagi anak-anak perihal surat menyurat, karena setiap bulannya mereka mengadakan sayembara di banyak sekolah dengan pertanyaan yang juga mengasah pengetahuan siswa. Kendati hadiahnya hanya alat tulis, namun para siswa tetap antusias, apalagi setiap bulannya nama-nama pemenang ditulis di belakang buku, lengkap dengan asal sekolah. Yah, cukup menyenangkan bukan?

Masuk pada era 2000an, sayadikenalakan oleh kakak saya yang dulu rajin mengumpulkan perangko atau biasa yang disebut Filateli. Kalau dulu saya mengoleksi kartu pokemon atau tajoz, kakak saya justru mengumpulkan perangko. Entah itu memang hobinya atau cuma sekedar mengikuti trend pada zaman itu. Terlepas dari itu saya juga memahami betul bahwa komunitas filateli memang tidak pernah mati. Karena memang sejarah mencatat lahirnya perangko berada di akhir tahun 1800.

Sejarah itu memang suatu cerita yang harus diriwayatkan seiring perkembangan zaman. Kita mungkin bisa berspekulasi zaman dahulu orang hidup lebih teratur, termasuk dalam hal menyampaikan pesan, beda dengan zaman sekarang yang serba instan. Bahkan, untuk kota metropolitan seperti Jakarta, kantor pos seperti Warung pinggir jalan yang kalah bersaing dengan minimarket.

Realita ini pun, menjadi suatu perhatian sendiri bagi saya. Dimana dulu saya sering mengirim pesan dengan sahabat yang berada di luar kota, esensinya sederhana saja, kita seperti dibuat menunggu kabar/jawaban dari isi surat tersebut. Mulai dari sepucuk surat, terus, hingga kita dibuat asyik untuk menulis. Tetapi hal itulah yang paling menarik untuk saya. Yah, jika diingat masa tersebut memang sungguh menyenangkan.

Berangkat dari hal itu, saya mungkin hanya satu dari sekian banyak orang yang menyukai mengirim surat melalui pos. Sederhananya mungkin 'cara komunikasi'. Tulisan ini mungkin terdengar konvensional namun saya merasa cara tersebut masih cukup menyenangkan. Zaman mungkin telah berubah dan memasuki media digital, tetapi saya pikir ada baiknya kita tidak melupakan hal yang sederhana, karena memang sesuatu hal yang besar hingga menjadi digital, tidak pernah lepas dari lahirnya sesuatu yang sederhana.

vendredi 30 août 2013

Melankolis yang merona ada di sudut kota Jakarta

"Sore ini langit Jakarta terlihat merona.
Anak adam sedang berpikir akan sebuah putaran waktu.
Coba lihat sekitar kita
Pernahkah engkau berpikir, apa yang membuat dirimu utuh?"

"Stand and get up!" merupakan kata yang pas untuk menggambarkan apa yang saat ini saya rasakan. Dalam postingan belakangan, kalian dapat melihat betapa dinamika hidup saya berjalan (meski tidak semuanya sih). Yah, inilah saat dimana saya telah resmi menjadi seorang Sarjana Humaniora 'beneran'.

Ada hal yang mungkin tidak dapat saya ungkapkan bagaimana perasaan saya sekarang ini. Simplenya semua sudah mengharu biru. Melankolis namun tetap manis. Yah, itulah masa dimana dulu saya menjadi seorang mahasiswa. Memang benar orang pernah bilang kalau wisuda itu senangnya hanya beberapa hari saja, sisanya yah seperti sekarang ini.

"Bukan! Iya bukan begitu seharusnya! Karena di sini saya hanya berikan yang baik-baik saja."
Ah, mungkin monolog itu sekejap muncul di dalam benak saya sesaat menulis postingan ini.

Adalah hal yang 'ngangenin' dari menjadi mahasiswa. Ketika kuliah pagi tanpa harus mandi karena kesiangan, lupa juga sama yang namanya sarapan, dikasih tugas yang engga kenal kompromi, melancong cari hiburan, irit makan saat akhir bulan, engga ada kuliah main kartu, diomelin dosen, asik begadang nonton bola dan endingnya saya yang ketiduran duluan. Yah...itu mungkin hal yang perlahan akan menghilang dalam rutinitas saya.

Mencari pekerjaan memang salah satu opsi yang saya pilih, jika ditanya mau sekolah lagi, pastinya saya sangat ingin melanjutkannya. Akan tetapi jika masih dibiayai oleh orang tua dalam usia sekarang rasanya pasti amat kurang pas bagi anak laki-laki, hematnya biarlah nanti saya tanggung itu sendiri.

Menjadi sesuatu yang kita inginkan memang butuh kerja keras dan perjuangan ekstra. Selama kuliah pun saya mengakui saya anak yang biasa-biasa saja dalam berbahasa Perancis, jelek engga, terlalu menonjol juga tidak, tapi kalau bicara wajah pasti sangat menonjol (jeleknya) *abaikan kalimat terakhir ini, kalau kalian tertawa berarti kalian mengiyakan! (asem)

Kurang lebih hampir 5 tahun saya menjadi mahasiswa, walaupun banyak yang bilang, "Emang ambil apa? Kok lama sih?" Yah, itu sih sudah jadi konsumsi umum. Satu hal yang memang patut dibanggakan adalah perkataan Madame Wandan (Dosen Wali saya yang sudah saya anggap seperti nenek saya sendiri) "Lulusan kita berbeda, jangan disamakan dengan jurusan lain. Ingat apa tujuan kamu dan yakinlah pada kualitas kamu." Sejenak hal itu sering kita anggap omong kosong. (Iya engga sih? Gue percaya pasti loe bakal bilang itu bullshit aja!)

Namun, pada kesempatan kali ini bisa saya bilang hal itu yang saya rasakan. Bercermin juga dari kemampuan diri sendiri, saya rasa selama menjalani perkuliahan saya menjadi orang yang ditempa untuk siap hidup di masyarakat. Engga peduli siang maupun malam, rasanya saya menjadi berpikir lebih dalam mengenai interaksi dan bagaimana mendalami subtansi-subtansi di masyarakat. Itu sih secara sadar atau tidak, saya ambil contoh, bagaimana saya membuat komik dengan pesan yang lebih dilihat satir, kritis, dan sebagainya. But, itulah salah satu hasilnya. Terlepas dari tekniknya, saya rasa gaya menyampaian pesannya itu sih, yang beriringan dengan studi saya di kampus. 

Oleh sebab itu, tidaklah baik jika saya merasa gundah gulana pada disiplin ilmu yang telah menjadikan saya hingga saat ini. Selasa 27 Agustus 2013, hari di mana saya mengulang seperti halnya MABA yang dikumpulkan di Graha Sanusi dengan putih abu-abu, yang perlahan merubah jati diri menjadi pribadi yang siap mengaplikasikan disiplin ilmu yang telah dipelajari.

Yah, inilah yang disebut melankolis manis.


 Foto bareng Babe dan Emak
Terima kasih yang tidak terhingga bagi kalian berdua. Uang segunung pun tidak cukup membalas cinta dan kasih kalian.

 Yah, mungkin terlihat tidak serius, namun sulit memang untuk dikatakan langsung karena saya bukan orang cukup romantis. Untuk Riri terima kasih banyak atas dukungan dan motivasinya sampai aku menjadi S.Hum.


Memang sudah suratan jika masuk Sastra Perancis anda (laki-laki) akan menjadi lebih tampan. Yah, karena memang kaum minoritas.

Jika ada siapa yang tanya, "Siapa mereka?" Mungkin akan ku bilang,
Mereka adalah tiang yang siap menopang saat aku terjatuh hingga saat ini.

 Bicara soal prestasi tentunya saya bukan lawan yang pas jika ditandingin sama si cantik IBON. Yah, walaupun begitu senang juga kalau ada teman sepermainan bisa wisuda bareng. 

Sedikit awkward kepada kalian (adik kelas) yang menyempatkan cabut kuliah untuk menghadiri wisuda 2008.
Kendati saya tidak terlalu akrab, bahkan imagenya jutek, sejatinya saya menyatangi kalian semua,
(Sebuah pengakuan yang menggelikan) 

 Mereka pun adalah orang-orang hebat yang ada di hidup saya,
Entahlah berapa lembar cerita yang sudah kita lewati bersama di kampus kita...

"Kamu itu baweeeel sekali, sukanya becandaaa terus, pusing saya jadinya."
Itulah kata-kata yang selalu diucapkan oleh Mme.Wandan
Suatu kesalahan bila kita melupakan dosen wali yang sejatinya menjadi orang tua kita semala kuliah
Terus senyum madame, dan semoga lekas sembuh!:') *teringat nenek

Foto ini yang menjadikan saya semacam seleb dadakan, "Lik, muke loe ada di web unpad!"
Dalam hati saja hanya bisa bilang, "Kalo itu muke gue di taro di Home Unpad, gue percaya banyak yang mikir lima kali sebelum masuk Unpad." Tau kenapa? Ah..sudahlah jangan dibahas lagi.


Akhirnya, suatu kebanggaan menerima gelar ini. Jauh daripada itu saya bangga mengenal kalian, dan saya bangga menempuh ilmu di jurusan Sastra Perancis U-eN-Pe-A-De. Doakan semua yang kudapatkan dapat berguna dikemudian hari, minimal untuk diri sendiri, karena kalau untuk bangsa negara terlalu berat dan khawatir melihat nasibnya dewasa ini. Yah, semoga saja... nanti... dikemudian hari... pasti!

lundi 19 août 2013

Etika Kita dalam Berkendara = Cerimin Masyarakat Kota!

Belum genap sebulan saya kembali ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Sebuah kota yang menjadi barometer perekonomian bahkan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kota yang indah dan megah ini pun menyimpan banyak cerita dari yang manis sampai yang paling kecut.
Kali ini bukan cerita manis yang akan saya bahas, melainkan cerita kecut atau mungkin menjengkelkan.

Oke, pagi tadi sekitar pukul 8.45 WIB saya memulai aktivitas sebagai bagian dari warga Jakarta. Kalau kalian sadar, pastinya hari senin ini sangat bertepatan dengan 'Hari Awal' beraktivitas setelah libur lebaran, dan hal ini pun berbanding lurus dengan keadaan jalan di Jakarta yang makin semerawut.

Tak habis akal sampai di situ, akhirnya saya memutar otak untuk mencari rute alternatif ke daerah Jakarta Barat. Karena perlu digarisbawahi, beberapa tahun yang lalu jika saya melalui rute yg ada sekarang saya bisa memakan waktu kurang lebih 45 -60 menit dari Jakarta paling Selatan hingga Jakarta paling Timur itu pun dalam Rush Hour, namun jika melihat kenyataan sekarang ini rasanya itu sudah menjadi hal yang mustahil kendati saya naik motor Ducati!

Tak mau ambil resiko saya pun memacu kuda putih saya lebih awal dengan perkiraan waktu sekitar satu setengah jam, karena benar saya saat memasuki jalan rasa sepanjang BKT, kendaraan sudah mulai padat merayap (terminologi yang aneh, harusnya mulai padat engga mau ngalah!) Mengapa saya berkata seperti itu? Karena memang orang kota lebih egois pada kepentingan mereka.

Kejadian Kecut itu pun saya alami pada saat melintasi lampu merah Dukuh Atas, saat itu traffic light ke arah Karet sedang kuning menuju merah. Lazimnya orang yang mengetahui makna dari lampu kuning seharusnya mereka hati-hati karena jalur kendaraan dari arah berlainan akan melintas. Sebagai orang yang tahu akan hal itu (saya rasa anak TK juga tahu persoalan warna lampu lalu lintas), maka saya pelankan laju kendaraan saya dan berhenti di belakang garis zebra cross, namun uniknya orang kota, mereka justru memacu kendaraan mereka dengan kecepatan maksimum. Kalo digambarkan di komik, mungkin fungsi lampu kuning tersebut bisa menjadi malaikat pencabut yang seolah-olah bilang "Hayo kalo merah kamu nanti masuk neraka".

Hal itulah yang terjadi pada pengendara dibelakang saya yang klakson ke saya tanpa henti sampai akhirnya kita berdua berhenti di lampu merah tersebut. Lantas ia mensejajarkan kendaraannya persis disebelah saya, kemudia berkata, "Bisa naik motor gak sih mas? Pelan begitu...", seraya dengan raut wajah yang keki.
Saya heran bukan kepalang, "Loh, mas tahu kan lampu merah?" tanya saya
"Iya, kalo mas tadi engga pelan saya bisa langsung jalan!" dengan nada membentak
Merasa disudutkan saya membela diri, "Mau cepet lewat tol mas!"
"B*#! *sensor (menyebut nama sodaranya) gue telat masuk kantor tahu!" Keadaan itu pun mulai memancing perhatian beberapa pengendara lain yang berhenti di TKP.
"Siapa suruh telat? Ini bukan jalanan bapak moyang loe nyet* ! (*engga di sensor karena artinya bisa jadi Anyet anak sastra Inggris!) Kalo loe mau jalan, jalan aja gih toh semua orang juga tahu lampu merah itu tandanya berhenti! Idiot!" Sambil menunjuk ke arah traffic light.

Bukannya malu, dia malah berniat menghandrik saya (bahasanya jadul pisan). Spontan pengendara yang ada di blakang mengklaksoni ke arah kami berdua, mungkin merasa diadali oleh warga dia pun 'menggeber-geber' knalpot butut layaknya jagoan seraya pembalap yang menunggu start di sirkut. Saat lampu hijau pun akhirnya dia memacu kendaraannya dengan (*ugal-ugalan) maaf yah, ini lain dengan ngebut. Karena buat saya ngebut itu kencang tapi punya perhitungan, kalo cuma ngebut dan engga memperhatikaan pengendara lain itu saya saja dengan Alay yang ngetes motor astrea Grand modifikasi layaknya motor GP. (Membayankannya saja sudah pasti lucu yah?!)

Keseluruhan saya melihat hal ini sungguh ironi, sekarang masyarakat banyak nuntut Jakarta Macet, ini lah, itu lah, tetapi mereka sendiri tidak memperhatikan apa yang menjadi kewajiban mereka (salah satunya mematuhi peraturan lalu-lintas)

Coba saya sedikit bermonolog, "Ada yang suruh dia telat?" (Instansi mana pun tidak menghendaki pegawainya telat)
"Udah tahu macet, kenapa engga jalan lebih awal?" (Santai, ngapain juga dateng pagi ke kantor/kampus/sekolah?)
"Terus kalo loe telat gimana?", (tenang gue bakalan ngebut!)

Suka atau tidak suka, saya juga yakin hal itu ada di kepala kita semua. Sudah banyak kasus yang hari ini saya lihat kenapa kemacetan itu tidak bisa mengurai, pertama pasti masalah volume kendaraan, kedua panjang / lebar jalan tidak berimbang dengan volume kendaraan, ketiga mau naik umum? ada jaminan nyaman, aman, dan tepat waktu (saya rasa sih engga ada).

Sekarang kita kesampingkan ketiga point itu dulu deh, dan coba kita gali lebih dalam, apa susahnya sih tertib sedikit, sabar sedikit, dan minimal tahu mana yang salah atau tidak salah. Pemahaman inilah yang sering dilupakan, pengemudi apa pun kalau dia memang mengikuti ujian SIM yang baik dan benar tanpa jasa calo pasti tahu akan hal-hal tersebut. Memang sih jika sudah membahas ranah itu makin panjang lagi ceritanya.

Tapi di sini coba kita reungkan, mau nanti Jokowi-Ahok atau gubernur-gubernur selanjutnya punya program sebegitu canggihnya untuk mengatasi kemacetan, jangan harap hal itu terselesaikan selama pola pikir dan etika kita dalam berkendara sama kacaunya dengan budaya korupsi yang sudah akut di negara ini. Tidak usah bercermin pada negara tetangga yang transportasi ini, begitu, bla, bla, bla,
intinya sopan dan hargai hak bersama sebagai pengendara, itu saja cukup!

lundi 8 juillet 2013

Pembaca itu lebih cerdas daripada pengarang! (ini MUTLAK)

Bukan kali pertama saya mengikuti lomba komik, Minggu (7/7) kemarin, bertempat di FIB UI. Saya berpartisipasi mengikuti acara Gelar Jepang #19. Kalau boleh jujur sih, saya ikutan acara ini karena waktu itu ada seorang teman saya yang merekomendasikannya dengan iming-iming hadiah yang menjanjikan, yah...kebetulan juga saat itu saya sedang ingin 'banting setir' saat mengerjakan skripsi. Akhirnya, saya mengerjakan komik ini dengan bantuan dan saran dari rekan saya si Aii, yang kebetulan juga tahu banyak soal budaya Jepang.

Perlahan tapi pasti, dalam waktu kurang lebih satu bulan saya habiskan untuk observasi mati-matian, dari mulai budaya jepang, geografisnya, sampai kepada hal yang 'perintilan'. Tidak hanya itu, menurut Panji pun, komik saya ini pun masih terlalu membatasi pembaca dalam hal (subtansi karya). Oke, setelah saran dan kritik bertubi-tubi akhirnya saya rombak lagi komik yang tadinya sudah selesai, hingga 3x pekerjaan. Lama, yah tapi memuaskan.

Pagi harinya panitia Gelar Jepang itu pun mengabarkan bahwa karya saya meraih pringkat pertama dalam kategori Lomba Komik, dengan Tema : Pariwisata. Senang dan bercampur eskpetasi yang berlebih hadiah apa yang kudapat?! (namun dalam kasus ini, saya pun sudah wanti-wanti pada diri sendiri untuk tidak begitu larut dalam euforia kesenangan dan ekspektasi tinggi).

Manga, satu kata yang mengambarkan salah satu gaya gambar yang berasal dari negeri sakura. Puluhan bahkan ratusan komik manga pernah saya baca. Sampai teman ku pernah bicara begini, "Loe bakal keren kalo gambar komik kayak begini (manga)!" Yah, tapi apa mau dikata, gaya Manga atau pun Amerika memang engga cocok buat saya. Berapa kali dicoba, hasilnya tetap sama, gambar masing-masing halamannya jadi beda sendiri, dan aku kurang piawai kalau diharuskan menggambar wajah orang tampan apalagi berotot.

Yah, kembali lagi pada acara Gelar Jepang UI tersebut. Anime pengunjung diacara ini sungguh luar biasa hebohnya. Umumnya acara kebudayaan Jepang saja. Kalau di Unpad mungkin namanya Fesbukan, dan otomatis dari mulai kuliner, cosplay, karoke, dll sudah pasti hadir di acara macam ini. Setelah hampir setengah jam berputar-putar akhirnya kami (saya dan Aii) menemukan panel pameran karya. Di satu pihak saya mungkin senang karena karya saya dipampang paling atas, namun amat disayangkan banyak karya lain yang kurang terekspos atau malah rusak/lecek. Untungnya saya mengantisipasi itu dengan menggunkan kertas sketch yang ketebalannya jauh di atas rata-rata. (Bicara teknis seperti itu memang mungkin tidak semua ornag banyak tahu, namu amat disayangkan jika komik yang dipamerkan menjadi rusak karena peraturan tersebut.)

Unknown, itulah saya. Selalu pura-pura menjadi pengunjung padahal sih ada maksud mendengarkan komentar orang yang melihat komik saya. Komentarnya sih beragam, "Mulai dari sederhana, ceritanya ringan, dan engga muluk-muluk." Komentar semacam itu memang asik diterima, namun ada juga komen yang menyakitkan. Satu yang saya ingat adalah komentar dari pengunjung yang mengatakan, "Itu yang juara satu engga manga banget deh! Tapi kok bisa Juara?" yang satu lagi bilang, "Tapi ceritanya bagus, engga pasaran." lantas disanggah lagi, "Iya sih, tapi tetep aja engga ada manga-manganya, kalo begitu doang mah gue juga bisa!".

Tanpa mendengarkan mereka lagi, saya langsung menghilang dari keramaian, dan mengumpat, "Bangke, emang loe pikir gampang gambar begitu aja? Gue juga bisa gambar manga, cuma guenya yang engga mau, karena udah pasaran! Lantas apa salahnya gambar yang tradisional begitu?!" namun saya pun berpikir lagi, tidak bijak rasanya jika umpatan seperti itu dilemparkan kepada pembaca, toh mereka hanya ingin dimanjakan oleh komik saya. Dan dalam hal ini, sayalah yang salah jika harus memaksa mereka suka dengan gaya gambar saya.

Lantas ketika pengumuman tiba, saya baru tahu kalau pengunjung tadi adalah pemenang ketiga dalam lomba komik. Ada baiknya, saya hancurkan istilah peringkat tersebut, karena di sini saya juga belajar bersama mereka. Jujur saja, saya menyukai gaya komiknya. Karena lebih realistis dalam hal latar, dan buat saya itu suatu pekerjaan yang sulit. Di satu sisi, manga memang juara dalam hal ekpresi dan jalan cerita, namun sayangnya banyak dari mangaka (komikus manga) di Indonesia yang lebih asik menikmati karya mereka sendiri atau kadang lebih suka bermain di zona aman (area dimana penikmatnya hanya sebatas penyuka manga). Yah, saya pun juga harus lebih banyak belajar untuk hal itu. Karena dalam hal ini kita sebagai pengarang cerita tidak boleh asik sendiri, siap menerima apa yang pembaca inginkan, ibarat restoran kita koki dan mereka pengunjung.

Well, satu kesimpulan yang saya dapat adalah, beranilah belajar dan mengaplikasikan hal baru dalam suatu karya. Ambil yang menurut kalian cocok untuk karya kalian. Saya pun akhirnya kena batunya karena mendapatkan peralatan manga yang begitu banyak! Tetapi terima kasih, peralatan ini pasti akan bermanfaat bagi saya dalam berkarya selanjutnya.





Terima Kasih Gelar Jepang UI #19,
Salam Liki!

samedi 29 juin 2013

Dari Enjah Hingga Harapan Saya!

Belakangan ini saya bisa dibilang kurang memperhatikan hiruk pukuk dunia luar, jangankan mengomentari soal kenaikan harga sembako, serta kasus dadakan 'seleb twiter' yang bomming karena ulahnya di sebuah acara TV saat on air. Pikiran saya belakangan memang hanya fokus pada tugas akhir. Namun, beberapa hari yang lalu saya baru ingat kalau saya memesan sebuah buku komik 'ENJAH' yang merupakan salah satu komik lokal yang bergenre horor. Saking lupanya dengan yang namanya komik, saya pun mencoba membaca komik yang konsepnya di garap oleh Alm. Janang, yang beberapa kali sering disinggung oleh Mas Beng Rahardian serta Mas Aji Prasetyo dalam komik Hidup Itu Indah. Kendati tidak mengenalnya secara langsung, saya pikir ia adalah seorang yang cukup berani untuk menghidupkan komik lokal di negerinya sendiri.

Akhirnya, saya mencoba membaca komik karya Mas Beng Rahardian dan Mas Tomas Soejakto, jujur saja, untuk mahasiswa seperti saya yang sering kali dihadapkan oleh teks-teks untuk dianalisis, alur cerita di komik ini sungguh keren dan menarik untuk dibaca, dari mulai tokoh, latar sosial, tempat, dan waktu. Semua sangat menarik untuk dibaca, apalagi atmosfer yang dibangun pada komik ini membuat saya (sebagai pembaca) semakin penasaran dengan endingnya. Yah, andai saja ada yang mau menjadikan "Enjah" sebagai bahan skripsi pasti kaya betul ide dan masalah yang bisa kita kembangkan. Jujur, niat pertamanya saya membaca komik ini sih, supaya ngantuk, tapi nyatanya malah sebaliknya, padahal waktu itu saya membacanya di kostan sekitar pukul 1 malam. Mungkin seperti yang saya bilang tadi, 'ceritanya asyik' dan menegangkan. Hingga saat ini saya sudah membacanya 3 kali, dan adegan yang paling suka adalah keberanian tokoh utama di komik ini 'Rama' saat menjemput 'Sofie' ke dalam dimensi yang berbeda, dan jika diruntut adegannya secara logis dan kronologis, komik ini memang sangat engga pasaran dalam segi jalan cerita.

Kalau bicara soal gaya gambar sih saya cuma bilang 'Keren Abis' dan punya ciri khas. Terlebih lagi setelah saya membaca bahwa pengerjaannya dikerjakan secara manual, maka sangat layak jika komik 'Enjah' bisa menjadi tolak ukur dari semakin berkualitasnya komik-komik Indonesia. Kendati memang banyak teman saya yang suka bertanya-tanya apa bagusnya sih komik lokal? ceritanya pasaran? gambarnya biasa? harganya pun engga semurah komik-komik jepang?. Dalam kasus ini saya hanya bisa bilang, kalau kamu berpikir seperti itu, itu sama halnya dengan lilin yang dinyalakan tanpa adanya oksigen.

Secara singkat memang penikmat komik lokal didominasi oleh orang-orang dewasa, namun memang sudah saatnya kita menjadikan komik lokal sebagai raja di tanahnya sendiri. Mengutip pesan Arswendo dalam diskusinya beberapa tahun yang lalu di kampus saya, 'Komik itu Baik', Dan yah, memang benar begitu adanya, karena banyak nilai-nilai kemanusian yang memiliki relevansi dengan kehidupan bangsa ini di dalamnya. Saya memang baru kali ini menulis sebegitu emosional di blog ini, namun Enjah mungkin satu dari Jutaan komik-komik lokal yang sayang untuk kita lewati. Mereka semua merupakan potret dari kebudayan Indonesia, walaupun tidak mudah, saya percaya saat itu akan tiba, saat dimana komik Indonesia menjadi Raja di tanahnya sendiri!

dok. Cendana Art Media

mardi 23 avril 2013

True Story!

Pada suatu kesempatan saya bertemu dengan teman saya yang bertanya, mengapa saya tidak sering memposting komik saya lagi di Mading Kampus maupun di Facebook? Yah, jelas karena skripsi ku masih berlangsung hingga saat ini. Bukan maksud hati mau begitu, namun apalah daya memang benar kata orang, "Skripsi itu penuh dengan lika-liku.

Hari ini, Mama mengabarkan bahwa 'Emak', sebutan bagi nenek dari Ayah ku telah meninggal dunia. Perasaan sedih pun ada di dalam hati saya. Yah, namun karena ada urusan akademik Mama hanya menyarankanku sebaiknya memberikan doanya saja bagi almh. Bicara soal Emak, memang tidak bisa terlalu banyak yang bisa ku ceritakan. Namun, aku tahu Ayah ku mungkin satu-satu orang yang paling terpukul atas kepergian Emak.

Aku sendiri juga tidak terlalu sering bercerita banyak hal kepada Ayah. Pernah aku berdebat mengenai masa depan ku yang jujur selalu dituntut menyamai prestasi kakak ku. Aku memang orang yang cukup cengeng dalam masalah ini, namun Ayah yah tetap lah Ayah. Iya hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya kelak. Pesan itu mungkin terlalu panjang jika ku narasikan dalam bentuk komik. Akan tetapi, pesan ayah ku itu layak kalian ketahui, dan mungkin aku persingkat dalam komik berbahasa Inggris ini. Semoga pesan ini tersampaikan.

mercredi 17 avril 2013

Lanjutkan Saja Jika Itu Terjadi

"Mata ini ingin beristirahat namun pikiran ku engga bilang begitu".

Yah, seperti sedang porak poranda pikiranku ini. Kamu tahu kenapa? Karena aku sedang merasa menjadi orang gila. Tidak tahu sih apa yang pas menggambarkan pikiran di kepala ku ini. Tetapi satu hal yang harus aku ingat, hari esok harus tetap kuhadapi.

Keputusan yang berat memang, tetapi aku harus melepas salah satu dan memprioritaskan apa yang menjadi kewajiban ku saat ini. Terserah kamu mau bilang aku apa? Batu pun tidak layak disandingkan dengan sifat ku ini.

Ah, sudah cukup rasanya monolog di malam yang gak karuan ini.
Kalian bagaimana?
Oia, coba saja dengarkan lagu Heels Phobia disebelah kiri dari tulisan ini. Imaji, ya, itu mungkin lagu yang pas untuk suasana hati ku malam ini.

Selamat malam, Salam Damai.

mercredi 13 mars 2013

Manifestasi Tulisan Kehidupan

Beri saya alasan untuk bisa memahami apa yang selama ini membias dan tidak pernah tersampaikan, baik lewat sikap ataupun kata.
Untuk sebuah alasan sayang rasanya kita harus memperdebatkan ini, seperti sunyi dalam garis tegak yang saya buat di atas kertas.
Percuma dan sayang rasanya untuk saya jadikan sebuah panel untuk menceritakan garis tegak itu.

Sekedar mencukil dari apa yang terjadi pada saya belakangan ini, gejolak sebuah penelitian yang memecahkan batin maupun rasa, kalian menyebut ini galau? lima puluh persen bisa dibilang ya, lima puluh persen dibilang tidak. Yah, perjuangan saya memang sekarang harus kembali ditunda... Kalian percaya usaha dan doa itu cukup? Hmmm...untuk berulang kalinya hal ini selalu memenuhi otak kecil di dada saya ini.

Manifestasi dari sebuah perjuangan yang harus terhalang oleh jarak dan ketidaksepahaman, klise memang. Tapi yah seperti itulah kehidupan. Disela-sela kesibukan saya menulis, saya juga masih belum bisa melupakan tuntutan akademik yang masih menjadi momok untuk pribadi saya. Dalam Minggu ini saya akan kembali mencobanya, itu pasti dan harus, kendati kekhawatiran itu tetap ada.

"Masa yang akan datang kamu akan menjadi apa?" apabila ditanya seperti itu biarkan tangan saya yang bekerja, menulis, membuat garis tegak berdasarkan otak dan hati. Kuli tinta memang begini adanya..

Mas Pram pernah bilang, "Orang boleh pintar setinggi langit, namun selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah." Percaya atau tidak, itu saya rasakan sampai detik ini... Meskipun persoalan hidup itu banyak dan setiap orang mengalami masalah yang berbeda, namun dengan menulis kita dapat mendengarkan suara yang tidak pernah padam hingga kita nanti benar-benar mati dari dunia yang fana ini. Saat ini saya masih merenung dan akhirnya saya memahami, marilah nikmati hidup ini karena urusan mati hanya proses dimana kita memulai, melakukan, dan mengakhiri. Mungkin inilah titiknya... Cerdik.

dimanche 10 mars 2013

Tidak Ada Yang Percuma

Selamat malam, akhirnya hari ini saya berhasil dibuat geram oleh bus antarkota yang dua Kali menolak saya menaiki mereka. Ah, tapi terlepas dari itu semua, kali ini saya akan menceritakan apa yang layak saya ambil hikmahnya, (engga tahu ada hikmahnya buat kalian atau engga). Yah, dimulai pada Minggu lalu yang memang kembali menyitaku untuk memeras bagian otak yang sudah kecil sedari lahir ini.

Kalian percaya apa yang namanya kebetulan? Orang yang sok bijak pernah ngomong, "Dalam hidup ini engga ada yang namanya kebetulan." Kalau dikembalikan dalam lintas agama pasti akan berbicara semua sudah digariskan dan ditakdirkan. Tapi saya tidak akan menggunakan tema agama, agak berat soalnya.

Oke, kembali dengan kata digariskan. Tidak berbeda dengan saya menggariskan garis tegak dalam komik saya. Semuanya bisa dikatakan sesuai dengan apa yang ada di kepala saya. Tetapi terlalu licik rasanya jika hanya menggunakan komik saya sebagai analoginya, karena dalam hidup ini saya bukan sutradaranya.

"Permainan peran ini sebelumnya pernah ku alami setahun yang lalu, persis tanggal 21 Maret, hari dimana apa yang sudah saya skenariokan, berubah dalam hitungan menit oleh sebuah kebijakan. Bila ku ingat lagi momen itu, aku mungkin akan menangis yang tidak harus bersuara atau pun mengeluarkan air mata. Perjuangan itu memang panjang, sampai aku akhirnya sempat mengumpat keputusan tersebut. Tidak ada yang tahu bagaimana sakitnya aku saat itu, yang jelas kebijakan itu banyak mengubah hidup ku."

Saya merasa itu adalah keputusan yang mengubah semua rencana ku, sampai sempat kutuliskan lagu yang berjudul Imaji, yang mengisahkan perasaan ku saat itu yang gelap dan samar. Dalam rasa sakit itu saya coba menyalurkan apa yang saya rasa bisa melupakan kekecewaan tersebut, hingga saya mendapatkan penghargaan dari Nirmana Awards, yah, waulahualam, Allah mungkin punya rencana lain untuk saya. Dia seolah ingin bilang, "Bukan sekarang Liki, Aku punya sesuatu yang lebih baik untukmu, sekarang nikmati dulu apa yang kuberikan."

Hampir setahun nikmat itu berlalu, dan hampir saja ku lupa dan kembali mengumpat sebuah kegagalan. Minggu lalu Liki orang yang egois dan sering lupa bersyukur ini kembali memiliki rencana yang besar, "seminggu ku sibukan perkerjaan memeras otak itu, hingga perjuangan mengejar posisi matahari, berkeringat, hingga keputusan yang kembali menunda perjuangan ku."

Kesal, sebal, geram, hingga mules pun sempat saya rasakan. Namun, dalam diri ini kembali mengingatkan saya, "Tidak ada segala tindakan yang percuma, mungkin bukan sekarang namun pasti nanti ada saatnya." Ini memang salah satu bagian perjuangan, saya memang tidak sepenuhnya benar, jadi saya pun berusaha menyikapinya dan menenangkan diri ini, Semua memang tidak ada yang percuma Lik!

lundi 25 février 2013

Saya Kalah Lomba Cerdas Cermat, Sodara-Sodari!


"Banyak orang tua merasa lebih tahu ketimbang anak muda?" Yah, itu yang akan saya ceritakan kali ini.
Dari foto yang saya coba narasikan ini kalian mungkin akan tertawa terbahak-bahak, maka tertawalah, berarti kalian itu normal dan hanya saya yang memang merasa sok tahu.

Malu untuk diri sendiri pastinya, ini sebenarnya pertanyaan cukup berat bagi seorang mahasiswa. Sudah 2 tahun setiap ada mahasiswa baru yang sedang di ospek, selalu saya kerjai dengan membuat pertanyaan sederhana, seperti "Siapa pahlawan dari kota asal kamu?", ini juga sebenarnya hanya guyonan antara saya, dan beberapa teman serta senior yang usil seperti si Panji. Semenjak itu kami bahkan sempat berpikir akan membuat UKM cerdas cermat di kampus, yang bertujuan mencerdaskan bangsa Indonesia ke depan. (Aneh? Biarin aja deh!).

Lucunya trik busuk dari (senior) macam saya ini, jika dia tidak tahu jawabannya, kita akan kerjai, tetapi jika dia tahu dan jawabannya, ada dua opsi kelanjutannya, pertama "Kalau memang kita tahu jawabannya, kita akan korek hal lainnya yang akan membuat si korban bingung.", kedua, ini dia bulusnya, "Kita (senior) akan menggap benar dan cukup bilang, yak, selanjutnya." *kelakuan antara bodoh dan gengsi memang setipis sutra. Ha-ha.

Nah, inilah pengakuan dosa saya, ketika di sela-sela mengisi acara yang rela diisi oleh orang macam saya ini (yang ketawa jangan dilanjutin baca). Yah, singkatnya band hura-hura ini akan ada jeda kuis, segaligus ajang promosi. "Bagi-bagi kaos, Yeeeeaaaaa!!" Semua penonton bersorak, kadang saya berpikir ini band ramenya cuma pas bagi-bagi kaos doang.

Oke, kembali pada benang merah, akal bulus pertanyaan sulit ini pun saya lontarkan dengan syarat, "Siapa yang tahu nama pahlawan dari Bekasi?" (kebetulan saya sedang berada di kota yang bersangkutan). 10 detik pertama dapat saya lihat penonton yang mayoritas siswa SMP ini hanya bisa terdiam, sampai salah satu dari mereka mengacungkan jari dan berteriak, "Aku! Aku!", dari atas panggung saya pun langsung merasa tertantang sambil menunjuknya, "Yak, itu tuh yang cewek naik dong ke sini!", setelah diintrogasi oleh saya seperti nama dan kelas berapa, pada awalnya gadis ini sepertinya agak malu-malu kucing dengan pipi yang merona (Lah, ini apa sih? kenapa bahasanya jadi kayak setensilan!)

Yasudah, biar tidak ambigu maka saya ganti dengan kata Adik yah, bukan gadis. Supaya kalian tidak salah kaprah nantinya. Lanjut kepada pertanyaan saya yang menyangkut kuis cerdas cermat itu, "Yah, coba kamu (sebut namanya, tapi sekarang lupa) siapa nama pahlawan dari Bekasi?", dengan lantang kali ini dia menjawab, "K.H. Noer Ali kak!", dalam suasana percaya, tidak percaya, dalam hitungan nol koma per sekian detik dalam kepala saya berpikir begini, "Apa iya begitu? Emang sih gue tahu nama itu, tapi yang gue inget itu nama jalan di Kalimalang?!" Dan jauh lagi saya berpikir, "Coba loe pikir lik, Kalimalang 'kan panjang dan nama K.H. Noer Ali itu pasti bukan sekedar nama Pak Haji yang punya tanah banyak, yang nantinya sama orang sekitar disebut Gang H.Fulan, dan lain sebagainya. Ini Kalimalang Man, jalan ternama antara Bekasi-Jakarta Timur."

Dalam keadaan yang begitu sulit untuk 'mengelak' maka bibir ini hanya bisa berkata, "Yak, selamat! Kamu mendapatkan baju dari Heels Phobia! Tepuk tangan ye!" Kendati, terdengar cerita dibalik 'keaseman' hati. Sampai detik ini, saya juga tahu kalau teman-teman saya di band, atau si Apri dan Waris yang hari itu juga ada, pasti tidak tahu jawabannya.

Setelah kejadian itu saya langsung mencari tahu siapa K.H. Noer Ali itu, yang memang benar seorang pahlawan dari Bekasi. "Dalam perasaan malu dan bodoh yang luar binasa ini, untuk mu (yang saya masih lupa namanya, pokoknya yang sebentar lagi ujian nasional) Selamat sudah menyadarkan saya dari prilaku bodoh tersebut, sekaligus menyadarkan saya bahwa tidak ada salahnya bertanya/belajar pada anak muda. (saya juga masih muda kok!) he-he. Yah, selamat untuk kamu!"

Semoga yang belum tertidur bisa mimpi buruk setelah membaca postingan ini, selain itu kejadian ini juga menyakinkan saya untuk memantapkan hati untuk membentuk UKM Cerdas Cermat. Hahaha...

jeudi 21 février 2013

Sebuah Pertanyaan Jauh di Depan?

"21 Februari di tahun yang sudah pernah saya lewati. Banyak hal yang rasanya sayang untuk kita lupakan. Memasuki tahun keempat di konsentrasi ilmuku ini, semakin aku tahu bahwa banyak hal yang masih perlu ku pelajari lebih banyak."

Yah, itu mungkin satu pemikiran yang ada di kepala saya, pada saat tadi buang air di kamar mandi, agak jijik mungkin, tapi tak apalah, aku kan manusia biasa dan tidak suka melebih-lebih kan hal yang kurasa itu nikmat. Yup, kembali lagi pada apa yang kurasakan saat ini, bisa dibilang inilah masa transisi dari sebuah kehidupan yang telah saya jalani. *sejatinya saya lebih suka pake saya, dari pada aku. Kalo pake aku kesannya terlalu dekat, padahal kamu yang baca juga belum tentu dekat dengan saya. (Abaikan bagian ini).

Yah, kembali lagi di blog yang nista dan sepi pembaca ini. Maaf sebelumnya jika saya tidak rutin lagi menulis di sini, habis sering diracuni kawan saya, si Apri untuk pindah ke Tumblr. (Yang sampai ini hanya saya pakai untuk hal-hal yang lebih sederhana saja isinya). Kembali lagi pada rutinitas saya akhir-akhir ini yang berkencan dengan Tugas Akhir, dengan buku yang berhubungan dengan budaya Tibet. Bukunya sih tidak terlalu tebal, sekitar 200an halaman. Namun, menariknya buku ini sangat kaya dalam hal humaniora.

Ada orang yang bilang, "orang pintar akan kalah dengan orang beruntung", nah, ini mungkin cocok dialami oleh saya. Bicara soal kampus nama saya mungkin cukup 'dikenal' tapi entah apanya, yang jelas bukan dikenal karena akademiknya yang cemerlang. Dan beruntungnya orang yang satu ini, karena ada dosen yang mau membimbing. (Padahal dulu banyak teman atau senior saya, yang bergurau kalau ada dosen yang mau membimbing Liki, pasti harus lempar dadu dulu, yang paling kecil dialah yang akan bimbing saya). Bahkan ada yang bertanya "SALIKI itu pintar gak sih?" Alamak...dari situ kalian mungkin bisa melihat adanya relevansi bahwa, saya memang tidak dikenal karena prestasi akademik yang gemilang. Ha-ha (aneh, malah ketawa yah? Yah, biarin aja 'kan yang ditertawakan diri sendiri)

Yah, namun dibalik itu semua saya juga tidak ingin mengecewakan para orang yang memberikan kredit kepada saya, banyak, cuma nantilah akan saya sebutkan satu-persatu, kalau ada waktu tentunya. Memandang jauh ke depan memang banyak rencana yang harus dipersiapkan, namun dalam detik ini saya memang harus berpacaran dan mencintai skripsi saya itu dengan sepenuh hati. Oia, mungkin juga dari penulisan skripsi ini saya juga berpikir akan membuat komik opini. Yah semoga saja dapat terealisasikan, tapi mungkin bisa saja, habis ide saya ini juga ditolak mentah-mentah oleh penerbit maupun media visual. Jadi biar saja saya terbitkan di sini sembari mengerjakan skripsi.

Kalian yang membaca setuju gak? Masih mau kan melihat blog sesat ini? Yah...semoga yah!

jeudi 14 février 2013

Perempuan


Ini bukan hal yang seharusnya layak untuk ku ungkapkan
"Apa kabar kamu?"
Lama rasanya hal itu tidak pernah kudengar
Hampir setengah dekade lebih cerita ini dimulai
Pesan konyol yang harus ditepati dari seorang laki-laki yang sangat menyangimu
Sampai sekarang mungkin banyak yang mengira ia itu bodoh,
Bahkan lebih bodoh dari seekor keledai.
Kehidupan itu tidak pernah sama, itu pasti.
Namun biarlah aku yang mencari persamaan antara kamu dan aku.

- dari perempuan

mardi 8 janvier 2013

Mati Suri

Momen ini memang sudah cukup lama ku nantikan, (2/2/13) bertempat di Al-Azhar 6 JakaPermai Bekasi yang berjudul Alsicfest. Sudah hampir 3,5 tahun saya, Nanda, Pogi, dan Hedi tidak bermain dalam satu panggung yang sama, karena 3,5 tahun belakangan selalu ada saja yang menjadikan kami tidak 'komplet'. Namun pada hari ini kerinduanku selama 3,5 tahun itu akhirnya tercapai.

Saat diundang ke acara itu terus terang saja, saya pribadi hanya mencari Have Fun. Perkara akan ada yang tahu atau tidak? Yah saya rasa itu urusan entar, tapi saya berani bertaruh kalau tidak ada yang tahu lagu kami, apalagi lagu-lagunya. Dan benar saja dugaan tersebut, dibilang malu sih ada, senang pun juga ada.

Entah dari mana enak memulainya, hampir bisa dibilang band ini memang mati suri dalam waktu yang cukup panjang, yah, tapi lucunya lagi, ternyata orang lebih antusias saat kami membawakan lagu orang lain daripada lagu sendiri. Tapi, tenang kami tetap PD kok dengan karya kami sendiri. (Kendati tetap ada yang tidak mengeti musik dan lagunya) Intinya saya cukup senang dengan pertemuan ini, semoga saja menjadi berkah bagi kami semua ke depannya.

Terima kasih untuk semuanya,
Suatu perasaan yang menjadi pilu gaduhku di dalam mimpi ku.

-Liki

Paradigma Sudut Pandang? (mungkin saja)

"Pernahkah kamu dianggap sebelah mata?

Pernahkah orang lain menganggap kamu tidak bisa lebih baik dari sekarang?"
Jika kamu pernah merasakan itu semua, maka kamu layak merasakan apa yang saya tuliskan dalam postingan ini.


Suatu IRONI yang cukup menyakitkan bukan? Saya sendiri masih terengah-engah dengan apa yang terjadi kepada diri saya sampai saat ini. Ada yang bilang, "Untuk mencapai suatu tahapan, kita harus melalui proses." Ya, memang benar, bahkan sudah pasti demikian adanya. Tetapi tidak sedikit pula yang menyangkal, apa yang kita dapatkan tidak lebih baik daripada kapabilitas diri kita sendiri. Ada yang menyebutnya, "Paling cuma beruntung, atau sekedar nasib baik yang sedang mampir dalam hidupnya."

Dalam proses sampai detik akhir ini saya memang membiarkan orang terserah ingin berbicara apa. Namun lucu aja gitu, ketika orang bilang "Dia itu tolol, dia itu pintar, dia itu lebih, dan begitu seterusnya." Jika menyebut masyarakat yang makan bangku sekolah, harus bisa melihat dari berbagai aspek sudut pandang. Tetapi yang bisa kita lihat sendiri pada saat "Loe bukan duduk pada posisi teratas, loe minim didengar dan sampai akhir tetap seperti jongos dan jongos!" Maaf kalau kurang sedap untuk kalian baca.

Bicara soal sudut pandang seperti itu memang selalu bersifat subjektif, tergantung moodnya saja kalau kata saya. Namun, perlu digarisbawahi ketika saya sampai pada tahap ini, saya kembali berpikir apakah penyusuan sudut pandang itu sudah mencapai tahan berpikir yang kritis? Menyangkut aspek etika, estetika, maupun logika? Sebuah ambiguitas yang masih kita temui sekarang ini.

Ah..tapi sudahlah, toh mereka hanya bisa menilai siapa saya. Kalau saya dicap seperti itu, yah silakan saja. Toh, apa yang kita rasakan belum tentu mereka rasakan. Tetapi mohon maaf untuk segala ucapan saya barusan, maaf juga untuk segala indak tunduk saya yang agak berlebihan, saya masih belajar dan masih jauh dari kata pintar. Ini juga bukan suatu gugatan yah, jangan terlalu serius membacanya. Sejenak berpikir dan mengajak apa yang seharusnya kita lakukan untuk menebang sikap sebelah mata yang bisa saja membuat orang merasa berkecil hati, atau malah bunuh diri. Cuma jangan selebay itu juga saya rasa.

Ah..sudah dulu yah, karena obsesi yang tercermin dalam bentuk pembuktian ini akan masih panjang jalan ceritanya. Jadi silakan kita minum kopi dan kembali berealita pada dunia yang lebih realita dari dunia fiksi..