vendredi 30 août 2013

Melankolis yang merona ada di sudut kota Jakarta

"Sore ini langit Jakarta terlihat merona.
Anak adam sedang berpikir akan sebuah putaran waktu.
Coba lihat sekitar kita
Pernahkah engkau berpikir, apa yang membuat dirimu utuh?"

"Stand and get up!" merupakan kata yang pas untuk menggambarkan apa yang saat ini saya rasakan. Dalam postingan belakangan, kalian dapat melihat betapa dinamika hidup saya berjalan (meski tidak semuanya sih). Yah, inilah saat dimana saya telah resmi menjadi seorang Sarjana Humaniora 'beneran'.

Ada hal yang mungkin tidak dapat saya ungkapkan bagaimana perasaan saya sekarang ini. Simplenya semua sudah mengharu biru. Melankolis namun tetap manis. Yah, itulah masa dimana dulu saya menjadi seorang mahasiswa. Memang benar orang pernah bilang kalau wisuda itu senangnya hanya beberapa hari saja, sisanya yah seperti sekarang ini.

"Bukan! Iya bukan begitu seharusnya! Karena di sini saya hanya berikan yang baik-baik saja."
Ah, mungkin monolog itu sekejap muncul di dalam benak saya sesaat menulis postingan ini.

Adalah hal yang 'ngangenin' dari menjadi mahasiswa. Ketika kuliah pagi tanpa harus mandi karena kesiangan, lupa juga sama yang namanya sarapan, dikasih tugas yang engga kenal kompromi, melancong cari hiburan, irit makan saat akhir bulan, engga ada kuliah main kartu, diomelin dosen, asik begadang nonton bola dan endingnya saya yang ketiduran duluan. Yah...itu mungkin hal yang perlahan akan menghilang dalam rutinitas saya.

Mencari pekerjaan memang salah satu opsi yang saya pilih, jika ditanya mau sekolah lagi, pastinya saya sangat ingin melanjutkannya. Akan tetapi jika masih dibiayai oleh orang tua dalam usia sekarang rasanya pasti amat kurang pas bagi anak laki-laki, hematnya biarlah nanti saya tanggung itu sendiri.

Menjadi sesuatu yang kita inginkan memang butuh kerja keras dan perjuangan ekstra. Selama kuliah pun saya mengakui saya anak yang biasa-biasa saja dalam berbahasa Perancis, jelek engga, terlalu menonjol juga tidak, tapi kalau bicara wajah pasti sangat menonjol (jeleknya) *abaikan kalimat terakhir ini, kalau kalian tertawa berarti kalian mengiyakan! (asem)

Kurang lebih hampir 5 tahun saya menjadi mahasiswa, walaupun banyak yang bilang, "Emang ambil apa? Kok lama sih?" Yah, itu sih sudah jadi konsumsi umum. Satu hal yang memang patut dibanggakan adalah perkataan Madame Wandan (Dosen Wali saya yang sudah saya anggap seperti nenek saya sendiri) "Lulusan kita berbeda, jangan disamakan dengan jurusan lain. Ingat apa tujuan kamu dan yakinlah pada kualitas kamu." Sejenak hal itu sering kita anggap omong kosong. (Iya engga sih? Gue percaya pasti loe bakal bilang itu bullshit aja!)

Namun, pada kesempatan kali ini bisa saya bilang hal itu yang saya rasakan. Bercermin juga dari kemampuan diri sendiri, saya rasa selama menjalani perkuliahan saya menjadi orang yang ditempa untuk siap hidup di masyarakat. Engga peduli siang maupun malam, rasanya saya menjadi berpikir lebih dalam mengenai interaksi dan bagaimana mendalami subtansi-subtansi di masyarakat. Itu sih secara sadar atau tidak, saya ambil contoh, bagaimana saya membuat komik dengan pesan yang lebih dilihat satir, kritis, dan sebagainya. But, itulah salah satu hasilnya. Terlepas dari tekniknya, saya rasa gaya menyampaian pesannya itu sih, yang beriringan dengan studi saya di kampus. 

Oleh sebab itu, tidaklah baik jika saya merasa gundah gulana pada disiplin ilmu yang telah menjadikan saya hingga saat ini. Selasa 27 Agustus 2013, hari di mana saya mengulang seperti halnya MABA yang dikumpulkan di Graha Sanusi dengan putih abu-abu, yang perlahan merubah jati diri menjadi pribadi yang siap mengaplikasikan disiplin ilmu yang telah dipelajari.

Yah, inilah yang disebut melankolis manis.


 Foto bareng Babe dan Emak
Terima kasih yang tidak terhingga bagi kalian berdua. Uang segunung pun tidak cukup membalas cinta dan kasih kalian.

 Yah, mungkin terlihat tidak serius, namun sulit memang untuk dikatakan langsung karena saya bukan orang cukup romantis. Untuk Riri terima kasih banyak atas dukungan dan motivasinya sampai aku menjadi S.Hum.


Memang sudah suratan jika masuk Sastra Perancis anda (laki-laki) akan menjadi lebih tampan. Yah, karena memang kaum minoritas.

Jika ada siapa yang tanya, "Siapa mereka?" Mungkin akan ku bilang,
Mereka adalah tiang yang siap menopang saat aku terjatuh hingga saat ini.

 Bicara soal prestasi tentunya saya bukan lawan yang pas jika ditandingin sama si cantik IBON. Yah, walaupun begitu senang juga kalau ada teman sepermainan bisa wisuda bareng. 

Sedikit awkward kepada kalian (adik kelas) yang menyempatkan cabut kuliah untuk menghadiri wisuda 2008.
Kendati saya tidak terlalu akrab, bahkan imagenya jutek, sejatinya saya menyatangi kalian semua,
(Sebuah pengakuan yang menggelikan) 

 Mereka pun adalah orang-orang hebat yang ada di hidup saya,
Entahlah berapa lembar cerita yang sudah kita lewati bersama di kampus kita...

"Kamu itu baweeeel sekali, sukanya becandaaa terus, pusing saya jadinya."
Itulah kata-kata yang selalu diucapkan oleh Mme.Wandan
Suatu kesalahan bila kita melupakan dosen wali yang sejatinya menjadi orang tua kita semala kuliah
Terus senyum madame, dan semoga lekas sembuh!:') *teringat nenek

Foto ini yang menjadikan saya semacam seleb dadakan, "Lik, muke loe ada di web unpad!"
Dalam hati saja hanya bisa bilang, "Kalo itu muke gue di taro di Home Unpad, gue percaya banyak yang mikir lima kali sebelum masuk Unpad." Tau kenapa? Ah..sudahlah jangan dibahas lagi.


Akhirnya, suatu kebanggaan menerima gelar ini. Jauh daripada itu saya bangga mengenal kalian, dan saya bangga menempuh ilmu di jurusan Sastra Perancis U-eN-Pe-A-De. Doakan semua yang kudapatkan dapat berguna dikemudian hari, minimal untuk diri sendiri, karena kalau untuk bangsa negara terlalu berat dan khawatir melihat nasibnya dewasa ini. Yah, semoga saja... nanti... dikemudian hari... pasti!

lundi 19 août 2013

Etika Kita dalam Berkendara = Cerimin Masyarakat Kota!

Belum genap sebulan saya kembali ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Sebuah kota yang menjadi barometer perekonomian bahkan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kota yang indah dan megah ini pun menyimpan banyak cerita dari yang manis sampai yang paling kecut.
Kali ini bukan cerita manis yang akan saya bahas, melainkan cerita kecut atau mungkin menjengkelkan.

Oke, pagi tadi sekitar pukul 8.45 WIB saya memulai aktivitas sebagai bagian dari warga Jakarta. Kalau kalian sadar, pastinya hari senin ini sangat bertepatan dengan 'Hari Awal' beraktivitas setelah libur lebaran, dan hal ini pun berbanding lurus dengan keadaan jalan di Jakarta yang makin semerawut.

Tak habis akal sampai di situ, akhirnya saya memutar otak untuk mencari rute alternatif ke daerah Jakarta Barat. Karena perlu digarisbawahi, beberapa tahun yang lalu jika saya melalui rute yg ada sekarang saya bisa memakan waktu kurang lebih 45 -60 menit dari Jakarta paling Selatan hingga Jakarta paling Timur itu pun dalam Rush Hour, namun jika melihat kenyataan sekarang ini rasanya itu sudah menjadi hal yang mustahil kendati saya naik motor Ducati!

Tak mau ambil resiko saya pun memacu kuda putih saya lebih awal dengan perkiraan waktu sekitar satu setengah jam, karena benar saya saat memasuki jalan rasa sepanjang BKT, kendaraan sudah mulai padat merayap (terminologi yang aneh, harusnya mulai padat engga mau ngalah!) Mengapa saya berkata seperti itu? Karena memang orang kota lebih egois pada kepentingan mereka.

Kejadian Kecut itu pun saya alami pada saat melintasi lampu merah Dukuh Atas, saat itu traffic light ke arah Karet sedang kuning menuju merah. Lazimnya orang yang mengetahui makna dari lampu kuning seharusnya mereka hati-hati karena jalur kendaraan dari arah berlainan akan melintas. Sebagai orang yang tahu akan hal itu (saya rasa anak TK juga tahu persoalan warna lampu lalu lintas), maka saya pelankan laju kendaraan saya dan berhenti di belakang garis zebra cross, namun uniknya orang kota, mereka justru memacu kendaraan mereka dengan kecepatan maksimum. Kalo digambarkan di komik, mungkin fungsi lampu kuning tersebut bisa menjadi malaikat pencabut yang seolah-olah bilang "Hayo kalo merah kamu nanti masuk neraka".

Hal itulah yang terjadi pada pengendara dibelakang saya yang klakson ke saya tanpa henti sampai akhirnya kita berdua berhenti di lampu merah tersebut. Lantas ia mensejajarkan kendaraannya persis disebelah saya, kemudia berkata, "Bisa naik motor gak sih mas? Pelan begitu...", seraya dengan raut wajah yang keki.
Saya heran bukan kepalang, "Loh, mas tahu kan lampu merah?" tanya saya
"Iya, kalo mas tadi engga pelan saya bisa langsung jalan!" dengan nada membentak
Merasa disudutkan saya membela diri, "Mau cepet lewat tol mas!"
"B*#! *sensor (menyebut nama sodaranya) gue telat masuk kantor tahu!" Keadaan itu pun mulai memancing perhatian beberapa pengendara lain yang berhenti di TKP.
"Siapa suruh telat? Ini bukan jalanan bapak moyang loe nyet* ! (*engga di sensor karena artinya bisa jadi Anyet anak sastra Inggris!) Kalo loe mau jalan, jalan aja gih toh semua orang juga tahu lampu merah itu tandanya berhenti! Idiot!" Sambil menunjuk ke arah traffic light.

Bukannya malu, dia malah berniat menghandrik saya (bahasanya jadul pisan). Spontan pengendara yang ada di blakang mengklaksoni ke arah kami berdua, mungkin merasa diadali oleh warga dia pun 'menggeber-geber' knalpot butut layaknya jagoan seraya pembalap yang menunggu start di sirkut. Saat lampu hijau pun akhirnya dia memacu kendaraannya dengan (*ugal-ugalan) maaf yah, ini lain dengan ngebut. Karena buat saya ngebut itu kencang tapi punya perhitungan, kalo cuma ngebut dan engga memperhatikaan pengendara lain itu saya saja dengan Alay yang ngetes motor astrea Grand modifikasi layaknya motor GP. (Membayankannya saja sudah pasti lucu yah?!)

Keseluruhan saya melihat hal ini sungguh ironi, sekarang masyarakat banyak nuntut Jakarta Macet, ini lah, itu lah, tetapi mereka sendiri tidak memperhatikan apa yang menjadi kewajiban mereka (salah satunya mematuhi peraturan lalu-lintas)

Coba saya sedikit bermonolog, "Ada yang suruh dia telat?" (Instansi mana pun tidak menghendaki pegawainya telat)
"Udah tahu macet, kenapa engga jalan lebih awal?" (Santai, ngapain juga dateng pagi ke kantor/kampus/sekolah?)
"Terus kalo loe telat gimana?", (tenang gue bakalan ngebut!)

Suka atau tidak suka, saya juga yakin hal itu ada di kepala kita semua. Sudah banyak kasus yang hari ini saya lihat kenapa kemacetan itu tidak bisa mengurai, pertama pasti masalah volume kendaraan, kedua panjang / lebar jalan tidak berimbang dengan volume kendaraan, ketiga mau naik umum? ada jaminan nyaman, aman, dan tepat waktu (saya rasa sih engga ada).

Sekarang kita kesampingkan ketiga point itu dulu deh, dan coba kita gali lebih dalam, apa susahnya sih tertib sedikit, sabar sedikit, dan minimal tahu mana yang salah atau tidak salah. Pemahaman inilah yang sering dilupakan, pengemudi apa pun kalau dia memang mengikuti ujian SIM yang baik dan benar tanpa jasa calo pasti tahu akan hal-hal tersebut. Memang sih jika sudah membahas ranah itu makin panjang lagi ceritanya.

Tapi di sini coba kita reungkan, mau nanti Jokowi-Ahok atau gubernur-gubernur selanjutnya punya program sebegitu canggihnya untuk mengatasi kemacetan, jangan harap hal itu terselesaikan selama pola pikir dan etika kita dalam berkendara sama kacaunya dengan budaya korupsi yang sudah akut di negara ini. Tidak usah bercermin pada negara tetangga yang transportasi ini, begitu, bla, bla, bla,
intinya sopan dan hargai hak bersama sebagai pengendara, itu saja cukup!