lundi 19 août 2013

Etika Kita dalam Berkendara = Cerimin Masyarakat Kota!

Belum genap sebulan saya kembali ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Sebuah kota yang menjadi barometer perekonomian bahkan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kota yang indah dan megah ini pun menyimpan banyak cerita dari yang manis sampai yang paling kecut.
Kali ini bukan cerita manis yang akan saya bahas, melainkan cerita kecut atau mungkin menjengkelkan.

Oke, pagi tadi sekitar pukul 8.45 WIB saya memulai aktivitas sebagai bagian dari warga Jakarta. Kalau kalian sadar, pastinya hari senin ini sangat bertepatan dengan 'Hari Awal' beraktivitas setelah libur lebaran, dan hal ini pun berbanding lurus dengan keadaan jalan di Jakarta yang makin semerawut.

Tak habis akal sampai di situ, akhirnya saya memutar otak untuk mencari rute alternatif ke daerah Jakarta Barat. Karena perlu digarisbawahi, beberapa tahun yang lalu jika saya melalui rute yg ada sekarang saya bisa memakan waktu kurang lebih 45 -60 menit dari Jakarta paling Selatan hingga Jakarta paling Timur itu pun dalam Rush Hour, namun jika melihat kenyataan sekarang ini rasanya itu sudah menjadi hal yang mustahil kendati saya naik motor Ducati!

Tak mau ambil resiko saya pun memacu kuda putih saya lebih awal dengan perkiraan waktu sekitar satu setengah jam, karena benar saya saat memasuki jalan rasa sepanjang BKT, kendaraan sudah mulai padat merayap (terminologi yang aneh, harusnya mulai padat engga mau ngalah!) Mengapa saya berkata seperti itu? Karena memang orang kota lebih egois pada kepentingan mereka.

Kejadian Kecut itu pun saya alami pada saat melintasi lampu merah Dukuh Atas, saat itu traffic light ke arah Karet sedang kuning menuju merah. Lazimnya orang yang mengetahui makna dari lampu kuning seharusnya mereka hati-hati karena jalur kendaraan dari arah berlainan akan melintas. Sebagai orang yang tahu akan hal itu (saya rasa anak TK juga tahu persoalan warna lampu lalu lintas), maka saya pelankan laju kendaraan saya dan berhenti di belakang garis zebra cross, namun uniknya orang kota, mereka justru memacu kendaraan mereka dengan kecepatan maksimum. Kalo digambarkan di komik, mungkin fungsi lampu kuning tersebut bisa menjadi malaikat pencabut yang seolah-olah bilang "Hayo kalo merah kamu nanti masuk neraka".

Hal itulah yang terjadi pada pengendara dibelakang saya yang klakson ke saya tanpa henti sampai akhirnya kita berdua berhenti di lampu merah tersebut. Lantas ia mensejajarkan kendaraannya persis disebelah saya, kemudia berkata, "Bisa naik motor gak sih mas? Pelan begitu...", seraya dengan raut wajah yang keki.
Saya heran bukan kepalang, "Loh, mas tahu kan lampu merah?" tanya saya
"Iya, kalo mas tadi engga pelan saya bisa langsung jalan!" dengan nada membentak
Merasa disudutkan saya membela diri, "Mau cepet lewat tol mas!"
"B*#! *sensor (menyebut nama sodaranya) gue telat masuk kantor tahu!" Keadaan itu pun mulai memancing perhatian beberapa pengendara lain yang berhenti di TKP.
"Siapa suruh telat? Ini bukan jalanan bapak moyang loe nyet* ! (*engga di sensor karena artinya bisa jadi Anyet anak sastra Inggris!) Kalo loe mau jalan, jalan aja gih toh semua orang juga tahu lampu merah itu tandanya berhenti! Idiot!" Sambil menunjuk ke arah traffic light.

Bukannya malu, dia malah berniat menghandrik saya (bahasanya jadul pisan). Spontan pengendara yang ada di blakang mengklaksoni ke arah kami berdua, mungkin merasa diadali oleh warga dia pun 'menggeber-geber' knalpot butut layaknya jagoan seraya pembalap yang menunggu start di sirkut. Saat lampu hijau pun akhirnya dia memacu kendaraannya dengan (*ugal-ugalan) maaf yah, ini lain dengan ngebut. Karena buat saya ngebut itu kencang tapi punya perhitungan, kalo cuma ngebut dan engga memperhatikaan pengendara lain itu saya saja dengan Alay yang ngetes motor astrea Grand modifikasi layaknya motor GP. (Membayankannya saja sudah pasti lucu yah?!)

Keseluruhan saya melihat hal ini sungguh ironi, sekarang masyarakat banyak nuntut Jakarta Macet, ini lah, itu lah, tetapi mereka sendiri tidak memperhatikan apa yang menjadi kewajiban mereka (salah satunya mematuhi peraturan lalu-lintas)

Coba saya sedikit bermonolog, "Ada yang suruh dia telat?" (Instansi mana pun tidak menghendaki pegawainya telat)
"Udah tahu macet, kenapa engga jalan lebih awal?" (Santai, ngapain juga dateng pagi ke kantor/kampus/sekolah?)
"Terus kalo loe telat gimana?", (tenang gue bakalan ngebut!)

Suka atau tidak suka, saya juga yakin hal itu ada di kepala kita semua. Sudah banyak kasus yang hari ini saya lihat kenapa kemacetan itu tidak bisa mengurai, pertama pasti masalah volume kendaraan, kedua panjang / lebar jalan tidak berimbang dengan volume kendaraan, ketiga mau naik umum? ada jaminan nyaman, aman, dan tepat waktu (saya rasa sih engga ada).

Sekarang kita kesampingkan ketiga point itu dulu deh, dan coba kita gali lebih dalam, apa susahnya sih tertib sedikit, sabar sedikit, dan minimal tahu mana yang salah atau tidak salah. Pemahaman inilah yang sering dilupakan, pengemudi apa pun kalau dia memang mengikuti ujian SIM yang baik dan benar tanpa jasa calo pasti tahu akan hal-hal tersebut. Memang sih jika sudah membahas ranah itu makin panjang lagi ceritanya.

Tapi di sini coba kita reungkan, mau nanti Jokowi-Ahok atau gubernur-gubernur selanjutnya punya program sebegitu canggihnya untuk mengatasi kemacetan, jangan harap hal itu terselesaikan selama pola pikir dan etika kita dalam berkendara sama kacaunya dengan budaya korupsi yang sudah akut di negara ini. Tidak usah bercermin pada negara tetangga yang transportasi ini, begitu, bla, bla, bla,
intinya sopan dan hargai hak bersama sebagai pengendara, itu saja cukup!

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire