mercredi 7 mai 2014

Dari Warung Kopi hingga menjadi Padika Dama Rangkaibumi

Satu hal yang mungkin menjadi ide tergila saya selama memproduseri sebuah pertunjukan kabaret, yaitu berani tampil di luar 'kandang' dengan tema cerita yang engga banal. Yup...setelah sekian lama saya mendustai blog ini, akhirnya saya kembali menulis.

Bicara soal kabaret Les Enfants memang suatu unit kegiatan mahasiswa sastra perancis Unpad yang masih terus berkarya sampai sekarang. Kendati dalam setiap regenerasi memiliki masalahnya masing-masing, namun saya rasa ini merupakan hal yang wajar. Tepat setahun yang lalu, saya ingat betul masa-masa menulis skripsi beserta kegalauannya membawa saya dan beberapa teman kampus saya menuju pembicaraan yang 'sok serius, namun akhirnya jadi serius'.

Cerita awalnya sih memang saat kami sedang asik-asiknya nongkrong di warung kopi, muncullah ide, bagaimana jika Les Enfants buat pertunjukan di luar kampus, kemudian pemainnya benar-benar best selected, (kalau kata Apri dan Sandy), saya mungkin tidak akan cerita panjang lebar mengenai tetek-bengeknya, yang jelas wacana itu pun lahir dan berkembang sampai akhirnya saya diwisuda Agustus tahun lalu.

Berjalan dan mengalir layaknya air, ide ini memang sayang untuk disia-siakan akhirnya saya mencoba observasi lagi, "Kalau memang mungkin, kenapa engga dijadiin aja, iya engga sih?", mulai dari sinilah ide itu makin berkembang dan melibatkan banyak orang, kemudian menjadi serius.

Padika Dama Rangkaibumi, istilah dari bahasa sangsekerta yang muncul begitu saja ketika saya sedang asik membaca Novel Kitab Omong Kosong. Padika = Syair, Dama = Cinta, Rangkaibumi = Merangkai Bumi, kesan pertama saya tahu nama itu, jujur saja hati saya sudah kepincut. Karena memang sangat mengena banget. hahahaha.... (just in my opinion yah, kalau tidak sejalan yah tidak apa-apa)

Kembali lagi pada konsep ide yang lahir dari warung kopi, banyak teman yang ingin mengangkat tema politik, kkn, cinta, pewayangan, dsb. Tetapi jujur, hal itu seolah menjadi kumpulan gas yang siap diterbangkan ke langit dan terbuang percuma. Lantas, dari situ saya berpikir kenapa tidak menjadikan kumpulan tersebut dengan tema yang sejatinya kita paham betul sedari kita dulu kecil, "Bhinneka Tunggal Ika".

Menarik memang jika kita melihat realitanya saat ini, antara filosofi dan praktiknya sangat jauh berbeda, ibaratnya bagai bumi dan langit. Tetapi mungkin kurang pas kalau saya yang bicara itu panjang lebar di sini, maka dari itu silakan menikmati highlight dari Ide warung kopi hingga menjadi pertunjukan Padika Dama Rangkaibumi.

Padika Dama Rangkaibumi from Les Enfants on Vimeo.

dimanche 16 mars 2014

Idealis?

Hello, setelah sekian lama menghilang akhirnya saya kembali menggarap blog ini. Yah, kalau dilihat dari runtunan historinya memang sudah hampir 5 bulan blog ini terbengkalai. (mungkin ibarat rumah kosong, sudah banyak debu dan sarang laba-laba) hahaha...

Kali ini akan bercerita apa yah? Hmm...mungkin saya akan bercerita mengapa blog ini terbengkalai. (Kalau engga penting yah di-skip aja kali yah) Yup, setelah mengemban gelar S.Hum kehidupan saya masuk pada tahap baru, dunia kerja. Sudah hampir 7 bulan saya mengarungi dunia pekerjaan, dan sekarang banyak yang mempertanyakan, "Apa benar passion kamu di sana Liki?"

Kalau boleh jujur memang perkerjaan yang sedang saya geluti ini, 180 derajat dari pekerjaan sebelumnya sebagai writer yang hobi jalan-jalan. Hmm...mungkin kalau kata Mas Andi rekan kerja, di kantor saya, "Itu memang jalannya dan harus dilewati."

Menyikapi pekerjaan yang ideal memang bukan perkara mudah, iya gak sih? Ada yang gajinya besar, tapi passionnya gak ada, dan begitu juga sebaliknya. Tapi banyak yang bilang kalau saya ini terlalu idealis. Terlepas dari hal itu, seorang seniman pernah bilang, "Sadar atau tidak dengan kita bekerja, itulah proses kita menggapai idealis."

"Ya, memang benar, mungkin saya sedang berjalan ke arah sana, kendati suka tidak suka, saya rasa itulah bagian hidup, dan semoga hal itulah yang menjadi berkah untuk kita nanti ke depan. Amin"

Cepat atau lambat saya akan mencapai idealisme saya itu! Percaya, dan untuk sekarang jangan berpikir semua yang telah kita lakukan adalah hal yang percuma, karena tidak ada hal yang percuma dari setiap usaha yang kita jalani.

mercredi 9 octobre 2013

Memaknai Sebuah Perjalanan Pesan Lewat POS

9 Oktober, hari diperingatinya Pos  Internasional. Di Indonesia sendiri hari ini kurang mendapatkan perhatian, atau bahkan jauh dari hingar bingar hari besar pada umumnya. Mengingat kata POS kita pasti teringat pada kata surat ataupun pesan. Yah...merujuk pada sejarahnya sendiri kirim-mengirim pesan memang telah ada pada awal abad ke-18.

Kembali kepada hari Pos Internasional ini. Dewasa ini dapat kita lihat keberadaan kantor pos memang relatif jauh dari perhatian masyarakat. Saya ingat betul surat pertama yang saya buat dan dikirimkan melalui pos adalah sebuah sayembara dari majalah Bobo. Tidak hanya itu, dulu pun saat duduk di bangku sekolah dasar, ada semacam lembar kerja siswa (LKS) yang namanya Kunti. Bisa dibilang, LKS ini juga mengajarkan hal positif bagi anak-anak perihal surat menyurat, karena setiap bulannya mereka mengadakan sayembara di banyak sekolah dengan pertanyaan yang juga mengasah pengetahuan siswa. Kendati hadiahnya hanya alat tulis, namun para siswa tetap antusias, apalagi setiap bulannya nama-nama pemenang ditulis di belakang buku, lengkap dengan asal sekolah. Yah, cukup menyenangkan bukan?

Masuk pada era 2000an, sayadikenalakan oleh kakak saya yang dulu rajin mengumpulkan perangko atau biasa yang disebut Filateli. Kalau dulu saya mengoleksi kartu pokemon atau tajoz, kakak saya justru mengumpulkan perangko. Entah itu memang hobinya atau cuma sekedar mengikuti trend pada zaman itu. Terlepas dari itu saya juga memahami betul bahwa komunitas filateli memang tidak pernah mati. Karena memang sejarah mencatat lahirnya perangko berada di akhir tahun 1800.

Sejarah itu memang suatu cerita yang harus diriwayatkan seiring perkembangan zaman. Kita mungkin bisa berspekulasi zaman dahulu orang hidup lebih teratur, termasuk dalam hal menyampaikan pesan, beda dengan zaman sekarang yang serba instan. Bahkan, untuk kota metropolitan seperti Jakarta, kantor pos seperti Warung pinggir jalan yang kalah bersaing dengan minimarket.

Realita ini pun, menjadi suatu perhatian sendiri bagi saya. Dimana dulu saya sering mengirim pesan dengan sahabat yang berada di luar kota, esensinya sederhana saja, kita seperti dibuat menunggu kabar/jawaban dari isi surat tersebut. Mulai dari sepucuk surat, terus, hingga kita dibuat asyik untuk menulis. Tetapi hal itulah yang paling menarik untuk saya. Yah, jika diingat masa tersebut memang sungguh menyenangkan.

Berangkat dari hal itu, saya mungkin hanya satu dari sekian banyak orang yang menyukai mengirim surat melalui pos. Sederhananya mungkin 'cara komunikasi'. Tulisan ini mungkin terdengar konvensional namun saya merasa cara tersebut masih cukup menyenangkan. Zaman mungkin telah berubah dan memasuki media digital, tetapi saya pikir ada baiknya kita tidak melupakan hal yang sederhana, karena memang sesuatu hal yang besar hingga menjadi digital, tidak pernah lepas dari lahirnya sesuatu yang sederhana.

vendredi 30 août 2013

Melankolis yang merona ada di sudut kota Jakarta

"Sore ini langit Jakarta terlihat merona.
Anak adam sedang berpikir akan sebuah putaran waktu.
Coba lihat sekitar kita
Pernahkah engkau berpikir, apa yang membuat dirimu utuh?"

"Stand and get up!" merupakan kata yang pas untuk menggambarkan apa yang saat ini saya rasakan. Dalam postingan belakangan, kalian dapat melihat betapa dinamika hidup saya berjalan (meski tidak semuanya sih). Yah, inilah saat dimana saya telah resmi menjadi seorang Sarjana Humaniora 'beneran'.

Ada hal yang mungkin tidak dapat saya ungkapkan bagaimana perasaan saya sekarang ini. Simplenya semua sudah mengharu biru. Melankolis namun tetap manis. Yah, itulah masa dimana dulu saya menjadi seorang mahasiswa. Memang benar orang pernah bilang kalau wisuda itu senangnya hanya beberapa hari saja, sisanya yah seperti sekarang ini.

"Bukan! Iya bukan begitu seharusnya! Karena di sini saya hanya berikan yang baik-baik saja."
Ah, mungkin monolog itu sekejap muncul di dalam benak saya sesaat menulis postingan ini.

Adalah hal yang 'ngangenin' dari menjadi mahasiswa. Ketika kuliah pagi tanpa harus mandi karena kesiangan, lupa juga sama yang namanya sarapan, dikasih tugas yang engga kenal kompromi, melancong cari hiburan, irit makan saat akhir bulan, engga ada kuliah main kartu, diomelin dosen, asik begadang nonton bola dan endingnya saya yang ketiduran duluan. Yah...itu mungkin hal yang perlahan akan menghilang dalam rutinitas saya.

Mencari pekerjaan memang salah satu opsi yang saya pilih, jika ditanya mau sekolah lagi, pastinya saya sangat ingin melanjutkannya. Akan tetapi jika masih dibiayai oleh orang tua dalam usia sekarang rasanya pasti amat kurang pas bagi anak laki-laki, hematnya biarlah nanti saya tanggung itu sendiri.

Menjadi sesuatu yang kita inginkan memang butuh kerja keras dan perjuangan ekstra. Selama kuliah pun saya mengakui saya anak yang biasa-biasa saja dalam berbahasa Perancis, jelek engga, terlalu menonjol juga tidak, tapi kalau bicara wajah pasti sangat menonjol (jeleknya) *abaikan kalimat terakhir ini, kalau kalian tertawa berarti kalian mengiyakan! (asem)

Kurang lebih hampir 5 tahun saya menjadi mahasiswa, walaupun banyak yang bilang, "Emang ambil apa? Kok lama sih?" Yah, itu sih sudah jadi konsumsi umum. Satu hal yang memang patut dibanggakan adalah perkataan Madame Wandan (Dosen Wali saya yang sudah saya anggap seperti nenek saya sendiri) "Lulusan kita berbeda, jangan disamakan dengan jurusan lain. Ingat apa tujuan kamu dan yakinlah pada kualitas kamu." Sejenak hal itu sering kita anggap omong kosong. (Iya engga sih? Gue percaya pasti loe bakal bilang itu bullshit aja!)

Namun, pada kesempatan kali ini bisa saya bilang hal itu yang saya rasakan. Bercermin juga dari kemampuan diri sendiri, saya rasa selama menjalani perkuliahan saya menjadi orang yang ditempa untuk siap hidup di masyarakat. Engga peduli siang maupun malam, rasanya saya menjadi berpikir lebih dalam mengenai interaksi dan bagaimana mendalami subtansi-subtansi di masyarakat. Itu sih secara sadar atau tidak, saya ambil contoh, bagaimana saya membuat komik dengan pesan yang lebih dilihat satir, kritis, dan sebagainya. But, itulah salah satu hasilnya. Terlepas dari tekniknya, saya rasa gaya menyampaian pesannya itu sih, yang beriringan dengan studi saya di kampus. 

Oleh sebab itu, tidaklah baik jika saya merasa gundah gulana pada disiplin ilmu yang telah menjadikan saya hingga saat ini. Selasa 27 Agustus 2013, hari di mana saya mengulang seperti halnya MABA yang dikumpulkan di Graha Sanusi dengan putih abu-abu, yang perlahan merubah jati diri menjadi pribadi yang siap mengaplikasikan disiplin ilmu yang telah dipelajari.

Yah, inilah yang disebut melankolis manis.


 Foto bareng Babe dan Emak
Terima kasih yang tidak terhingga bagi kalian berdua. Uang segunung pun tidak cukup membalas cinta dan kasih kalian.

 Yah, mungkin terlihat tidak serius, namun sulit memang untuk dikatakan langsung karena saya bukan orang cukup romantis. Untuk Riri terima kasih banyak atas dukungan dan motivasinya sampai aku menjadi S.Hum.


Memang sudah suratan jika masuk Sastra Perancis anda (laki-laki) akan menjadi lebih tampan. Yah, karena memang kaum minoritas.

Jika ada siapa yang tanya, "Siapa mereka?" Mungkin akan ku bilang,
Mereka adalah tiang yang siap menopang saat aku terjatuh hingga saat ini.

 Bicara soal prestasi tentunya saya bukan lawan yang pas jika ditandingin sama si cantik IBON. Yah, walaupun begitu senang juga kalau ada teman sepermainan bisa wisuda bareng. 

Sedikit awkward kepada kalian (adik kelas) yang menyempatkan cabut kuliah untuk menghadiri wisuda 2008.
Kendati saya tidak terlalu akrab, bahkan imagenya jutek, sejatinya saya menyatangi kalian semua,
(Sebuah pengakuan yang menggelikan) 

 Mereka pun adalah orang-orang hebat yang ada di hidup saya,
Entahlah berapa lembar cerita yang sudah kita lewati bersama di kampus kita...

"Kamu itu baweeeel sekali, sukanya becandaaa terus, pusing saya jadinya."
Itulah kata-kata yang selalu diucapkan oleh Mme.Wandan
Suatu kesalahan bila kita melupakan dosen wali yang sejatinya menjadi orang tua kita semala kuliah
Terus senyum madame, dan semoga lekas sembuh!:') *teringat nenek

Foto ini yang menjadikan saya semacam seleb dadakan, "Lik, muke loe ada di web unpad!"
Dalam hati saja hanya bisa bilang, "Kalo itu muke gue di taro di Home Unpad, gue percaya banyak yang mikir lima kali sebelum masuk Unpad." Tau kenapa? Ah..sudahlah jangan dibahas lagi.


Akhirnya, suatu kebanggaan menerima gelar ini. Jauh daripada itu saya bangga mengenal kalian, dan saya bangga menempuh ilmu di jurusan Sastra Perancis U-eN-Pe-A-De. Doakan semua yang kudapatkan dapat berguna dikemudian hari, minimal untuk diri sendiri, karena kalau untuk bangsa negara terlalu berat dan khawatir melihat nasibnya dewasa ini. Yah, semoga saja... nanti... dikemudian hari... pasti!

lundi 19 août 2013

Etika Kita dalam Berkendara = Cerimin Masyarakat Kota!

Belum genap sebulan saya kembali ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Sebuah kota yang menjadi barometer perekonomian bahkan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kota yang indah dan megah ini pun menyimpan banyak cerita dari yang manis sampai yang paling kecut.
Kali ini bukan cerita manis yang akan saya bahas, melainkan cerita kecut atau mungkin menjengkelkan.

Oke, pagi tadi sekitar pukul 8.45 WIB saya memulai aktivitas sebagai bagian dari warga Jakarta. Kalau kalian sadar, pastinya hari senin ini sangat bertepatan dengan 'Hari Awal' beraktivitas setelah libur lebaran, dan hal ini pun berbanding lurus dengan keadaan jalan di Jakarta yang makin semerawut.

Tak habis akal sampai di situ, akhirnya saya memutar otak untuk mencari rute alternatif ke daerah Jakarta Barat. Karena perlu digarisbawahi, beberapa tahun yang lalu jika saya melalui rute yg ada sekarang saya bisa memakan waktu kurang lebih 45 -60 menit dari Jakarta paling Selatan hingga Jakarta paling Timur itu pun dalam Rush Hour, namun jika melihat kenyataan sekarang ini rasanya itu sudah menjadi hal yang mustahil kendati saya naik motor Ducati!

Tak mau ambil resiko saya pun memacu kuda putih saya lebih awal dengan perkiraan waktu sekitar satu setengah jam, karena benar saya saat memasuki jalan rasa sepanjang BKT, kendaraan sudah mulai padat merayap (terminologi yang aneh, harusnya mulai padat engga mau ngalah!) Mengapa saya berkata seperti itu? Karena memang orang kota lebih egois pada kepentingan mereka.

Kejadian Kecut itu pun saya alami pada saat melintasi lampu merah Dukuh Atas, saat itu traffic light ke arah Karet sedang kuning menuju merah. Lazimnya orang yang mengetahui makna dari lampu kuning seharusnya mereka hati-hati karena jalur kendaraan dari arah berlainan akan melintas. Sebagai orang yang tahu akan hal itu (saya rasa anak TK juga tahu persoalan warna lampu lalu lintas), maka saya pelankan laju kendaraan saya dan berhenti di belakang garis zebra cross, namun uniknya orang kota, mereka justru memacu kendaraan mereka dengan kecepatan maksimum. Kalo digambarkan di komik, mungkin fungsi lampu kuning tersebut bisa menjadi malaikat pencabut yang seolah-olah bilang "Hayo kalo merah kamu nanti masuk neraka".

Hal itulah yang terjadi pada pengendara dibelakang saya yang klakson ke saya tanpa henti sampai akhirnya kita berdua berhenti di lampu merah tersebut. Lantas ia mensejajarkan kendaraannya persis disebelah saya, kemudia berkata, "Bisa naik motor gak sih mas? Pelan begitu...", seraya dengan raut wajah yang keki.
Saya heran bukan kepalang, "Loh, mas tahu kan lampu merah?" tanya saya
"Iya, kalo mas tadi engga pelan saya bisa langsung jalan!" dengan nada membentak
Merasa disudutkan saya membela diri, "Mau cepet lewat tol mas!"
"B*#! *sensor (menyebut nama sodaranya) gue telat masuk kantor tahu!" Keadaan itu pun mulai memancing perhatian beberapa pengendara lain yang berhenti di TKP.
"Siapa suruh telat? Ini bukan jalanan bapak moyang loe nyet* ! (*engga di sensor karena artinya bisa jadi Anyet anak sastra Inggris!) Kalo loe mau jalan, jalan aja gih toh semua orang juga tahu lampu merah itu tandanya berhenti! Idiot!" Sambil menunjuk ke arah traffic light.

Bukannya malu, dia malah berniat menghandrik saya (bahasanya jadul pisan). Spontan pengendara yang ada di blakang mengklaksoni ke arah kami berdua, mungkin merasa diadali oleh warga dia pun 'menggeber-geber' knalpot butut layaknya jagoan seraya pembalap yang menunggu start di sirkut. Saat lampu hijau pun akhirnya dia memacu kendaraannya dengan (*ugal-ugalan) maaf yah, ini lain dengan ngebut. Karena buat saya ngebut itu kencang tapi punya perhitungan, kalo cuma ngebut dan engga memperhatikaan pengendara lain itu saya saja dengan Alay yang ngetes motor astrea Grand modifikasi layaknya motor GP. (Membayankannya saja sudah pasti lucu yah?!)

Keseluruhan saya melihat hal ini sungguh ironi, sekarang masyarakat banyak nuntut Jakarta Macet, ini lah, itu lah, tetapi mereka sendiri tidak memperhatikan apa yang menjadi kewajiban mereka (salah satunya mematuhi peraturan lalu-lintas)

Coba saya sedikit bermonolog, "Ada yang suruh dia telat?" (Instansi mana pun tidak menghendaki pegawainya telat)
"Udah tahu macet, kenapa engga jalan lebih awal?" (Santai, ngapain juga dateng pagi ke kantor/kampus/sekolah?)
"Terus kalo loe telat gimana?", (tenang gue bakalan ngebut!)

Suka atau tidak suka, saya juga yakin hal itu ada di kepala kita semua. Sudah banyak kasus yang hari ini saya lihat kenapa kemacetan itu tidak bisa mengurai, pertama pasti masalah volume kendaraan, kedua panjang / lebar jalan tidak berimbang dengan volume kendaraan, ketiga mau naik umum? ada jaminan nyaman, aman, dan tepat waktu (saya rasa sih engga ada).

Sekarang kita kesampingkan ketiga point itu dulu deh, dan coba kita gali lebih dalam, apa susahnya sih tertib sedikit, sabar sedikit, dan minimal tahu mana yang salah atau tidak salah. Pemahaman inilah yang sering dilupakan, pengemudi apa pun kalau dia memang mengikuti ujian SIM yang baik dan benar tanpa jasa calo pasti tahu akan hal-hal tersebut. Memang sih jika sudah membahas ranah itu makin panjang lagi ceritanya.

Tapi di sini coba kita reungkan, mau nanti Jokowi-Ahok atau gubernur-gubernur selanjutnya punya program sebegitu canggihnya untuk mengatasi kemacetan, jangan harap hal itu terselesaikan selama pola pikir dan etika kita dalam berkendara sama kacaunya dengan budaya korupsi yang sudah akut di negara ini. Tidak usah bercermin pada negara tetangga yang transportasi ini, begitu, bla, bla, bla,
intinya sopan dan hargai hak bersama sebagai pengendara, itu saja cukup!

lundi 8 juillet 2013

Pembaca itu lebih cerdas daripada pengarang! (ini MUTLAK)

Bukan kali pertama saya mengikuti lomba komik, Minggu (7/7) kemarin, bertempat di FIB UI. Saya berpartisipasi mengikuti acara Gelar Jepang #19. Kalau boleh jujur sih, saya ikutan acara ini karena waktu itu ada seorang teman saya yang merekomendasikannya dengan iming-iming hadiah yang menjanjikan, yah...kebetulan juga saat itu saya sedang ingin 'banting setir' saat mengerjakan skripsi. Akhirnya, saya mengerjakan komik ini dengan bantuan dan saran dari rekan saya si Aii, yang kebetulan juga tahu banyak soal budaya Jepang.

Perlahan tapi pasti, dalam waktu kurang lebih satu bulan saya habiskan untuk observasi mati-matian, dari mulai budaya jepang, geografisnya, sampai kepada hal yang 'perintilan'. Tidak hanya itu, menurut Panji pun, komik saya ini pun masih terlalu membatasi pembaca dalam hal (subtansi karya). Oke, setelah saran dan kritik bertubi-tubi akhirnya saya rombak lagi komik yang tadinya sudah selesai, hingga 3x pekerjaan. Lama, yah tapi memuaskan.

Pagi harinya panitia Gelar Jepang itu pun mengabarkan bahwa karya saya meraih pringkat pertama dalam kategori Lomba Komik, dengan Tema : Pariwisata. Senang dan bercampur eskpetasi yang berlebih hadiah apa yang kudapat?! (namun dalam kasus ini, saya pun sudah wanti-wanti pada diri sendiri untuk tidak begitu larut dalam euforia kesenangan dan ekspektasi tinggi).

Manga, satu kata yang mengambarkan salah satu gaya gambar yang berasal dari negeri sakura. Puluhan bahkan ratusan komik manga pernah saya baca. Sampai teman ku pernah bicara begini, "Loe bakal keren kalo gambar komik kayak begini (manga)!" Yah, tapi apa mau dikata, gaya Manga atau pun Amerika memang engga cocok buat saya. Berapa kali dicoba, hasilnya tetap sama, gambar masing-masing halamannya jadi beda sendiri, dan aku kurang piawai kalau diharuskan menggambar wajah orang tampan apalagi berotot.

Yah, kembali lagi pada acara Gelar Jepang UI tersebut. Anime pengunjung diacara ini sungguh luar biasa hebohnya. Umumnya acara kebudayaan Jepang saja. Kalau di Unpad mungkin namanya Fesbukan, dan otomatis dari mulai kuliner, cosplay, karoke, dll sudah pasti hadir di acara macam ini. Setelah hampir setengah jam berputar-putar akhirnya kami (saya dan Aii) menemukan panel pameran karya. Di satu pihak saya mungkin senang karena karya saya dipampang paling atas, namun amat disayangkan banyak karya lain yang kurang terekspos atau malah rusak/lecek. Untungnya saya mengantisipasi itu dengan menggunkan kertas sketch yang ketebalannya jauh di atas rata-rata. (Bicara teknis seperti itu memang mungkin tidak semua ornag banyak tahu, namu amat disayangkan jika komik yang dipamerkan menjadi rusak karena peraturan tersebut.)

Unknown, itulah saya. Selalu pura-pura menjadi pengunjung padahal sih ada maksud mendengarkan komentar orang yang melihat komik saya. Komentarnya sih beragam, "Mulai dari sederhana, ceritanya ringan, dan engga muluk-muluk." Komentar semacam itu memang asik diterima, namun ada juga komen yang menyakitkan. Satu yang saya ingat adalah komentar dari pengunjung yang mengatakan, "Itu yang juara satu engga manga banget deh! Tapi kok bisa Juara?" yang satu lagi bilang, "Tapi ceritanya bagus, engga pasaran." lantas disanggah lagi, "Iya sih, tapi tetep aja engga ada manga-manganya, kalo begitu doang mah gue juga bisa!".

Tanpa mendengarkan mereka lagi, saya langsung menghilang dari keramaian, dan mengumpat, "Bangke, emang loe pikir gampang gambar begitu aja? Gue juga bisa gambar manga, cuma guenya yang engga mau, karena udah pasaran! Lantas apa salahnya gambar yang tradisional begitu?!" namun saya pun berpikir lagi, tidak bijak rasanya jika umpatan seperti itu dilemparkan kepada pembaca, toh mereka hanya ingin dimanjakan oleh komik saya. Dan dalam hal ini, sayalah yang salah jika harus memaksa mereka suka dengan gaya gambar saya.

Lantas ketika pengumuman tiba, saya baru tahu kalau pengunjung tadi adalah pemenang ketiga dalam lomba komik. Ada baiknya, saya hancurkan istilah peringkat tersebut, karena di sini saya juga belajar bersama mereka. Jujur saja, saya menyukai gaya komiknya. Karena lebih realistis dalam hal latar, dan buat saya itu suatu pekerjaan yang sulit. Di satu sisi, manga memang juara dalam hal ekpresi dan jalan cerita, namun sayangnya banyak dari mangaka (komikus manga) di Indonesia yang lebih asik menikmati karya mereka sendiri atau kadang lebih suka bermain di zona aman (area dimana penikmatnya hanya sebatas penyuka manga). Yah, saya pun juga harus lebih banyak belajar untuk hal itu. Karena dalam hal ini kita sebagai pengarang cerita tidak boleh asik sendiri, siap menerima apa yang pembaca inginkan, ibarat restoran kita koki dan mereka pengunjung.

Well, satu kesimpulan yang saya dapat adalah, beranilah belajar dan mengaplikasikan hal baru dalam suatu karya. Ambil yang menurut kalian cocok untuk karya kalian. Saya pun akhirnya kena batunya karena mendapatkan peralatan manga yang begitu banyak! Tetapi terima kasih, peralatan ini pasti akan bermanfaat bagi saya dalam berkarya selanjutnya.





Terima Kasih Gelar Jepang UI #19,
Salam Liki!